Pengertian Budak
Dalam (kamus) bahasa Indonesia, budak berarti anak, kanak-kanak; abdi, hamba; dan orang gajian[i]. Dalam (kamus) bahasa Inggris, terdapat dua istilah yang sering diartikan sebagai budak, yaitu servant dan slave. Servant berarti pelayan, pembantu; orang yang mengabdi pada seseorang atau sesuatu[ii]. Dari sinilah istilah civil servant, yang dalam bahasa Indonesia diartikan dengan pegawai negeri. Dan slave berarti budak, pekerja keras, atau orang yang dipengaruhi oleh kebiasaan[iii].
Menurut Hamka budak berarti seseorang yang tidak merdeka. Dia menjadi milik tuannya sebagaimana seseorang memiliki sebuah barang. Budak boleh dijual, dihadiahkan atau dijadikan sebagai istri. Anak hasil hubungan seorang tuan dengan budaknya adalah sah hukumnya[iv]. Dengan demikian, budak menjadi milik tuannya semata-mata[v].
Secara hukum, budak merupakan orang yang setengah manusia (merdeka). Di satu sisi dia merupakan manusia yang normal dan di sisi lain dia adalah harta atau benda yang sepenuhnya dimiliki oleh tuannya dan dapat diperjualbelikan jika sang tuan menghendakinya. Budak tidak bisa berbuat sesuatu sesuai dengan keinginannya. Dia harus berfikir dan berbuat sesuai dan untuk kepentingan tuannya.
Dalam pengertian umum yang berlaku diluar Islam, budak dapat diartikan sebagai manusia-manusia sangat malang dalam hidupnya. Karakteristik kehidupan mereka dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, budak berasal atau didapatkan dari peperangan, pembelian, penculikan, penangkapan, dan keturunan (anak dari seorang budak). Kisah yang dialami Zaid bin Haritsah misalnya, adalah contoh dari sebuah penangkapan. Zaid ketika masih kecil, dibawa oleh ibunya ke kampung bani Ma’na. tidak berapa lama kemudain daerah tersebut dirampok oleh sekelompok badui dan menangkapi wanita dan anak-anaknya yang tidak sempat melarikan diri, termasuk Zaid bin Haritsah yang ditinggalkan ibunya. Zaid kecil tersebut kemudian dibawa ke pasar budak, ‘ukadz, untuk dijual[vi].
Kedua, budak merupakan manusia yang dimatikan keinginan, rasa, pikiran, dan cita-citanya. Dia tidak boleh berkeinginan dan bercita-cita diluar batasan hidup yang ditetapkan tuannya. Budak tidak perlu merasa jijik, letih, penasaran, sedih, enggan, dan menolak segala tugas yang diberikan sang tuan. Baginya tidak ada alternatif lain kecuali mengikuti orang yang mempunyainya. Budak juga tidak udah berpikiran diluar batas tugasnya. Jika sang tuan menyuruh bekerja di ladang, dia tidak perlu memikirkan tentang hasil kerjanya, bagaimana mengolah dan kemana dijual. Tugasnya adalah bekerja, maka segenap pikiran, perasaan, dan tenaganya harus terpusat pada pekerjaan itu, bukan untuk yang lain.
Ketiga, budak dimiliki oleh tuannya. Perlakuan tuan terhadap budaknya sama dengan perlakuan seseorang terhadap hewan atau barang. Dia bisa dipekerjakan tanpa gaji, bahkan hanya diberi makan, pakaian, dan tempat tinggal sekedarnya. Seperti halnya Bilal bin Rabah sebelum Islam yang hanya mendapatkan dua genggam kurma dari menggembala unta dan domba[vii].
Budak juga bisa diterlantarkan, dijual, dibuang, dihadiahkan, dianiaya, dan dibunuh. Kalau dia wanita, kalau sang tuan mau, dia bisa digauli tanpa harus dinikahi. Al-Qur’an (an-Nahl:75) mengistilahkan nasib budak ini dengan “abdan mamlukan laa yaqdiru ‘ala syai’” (seseorang yang benar-benar dikuasai oleh orang lain sehingga tidak bisa berbuat apa-apa, termasuk pada dirinya sendiri).
Pada zaman Romawi kuno, budak tidak hanya disuruh bekerja di ladang atau lahan produktif lainnya. Akan tetapi, disamping pekerjaan rutin itu, mereka disuruh “menghibur” tuan-tuan mereka dengan mempertaruhkan nyawanya. Budak-budak dijadikan tontonan dengan jalan mengadu sesama mereka dalam satu perkelahian hidup mati. Mereka saling membunuh untuk mempertahankan kehidupan masing-masing. Keringat bercucuran, darah mengalir, dan mereka menggelepar-gelepar seperti ayam yang menyambut kematian, merupakan hiburan yang sangat menyenangkan bagi tuan-tuan mereka[viii].
Keempat, budak bisa mendapatkan kemerdekaannya dengan jalan melarikan diri, membayar tebusan kepada tuan dengan harga yang ditentukan, atau dibuang oleh tuannya karena tidak bisa dimanfaatkan lagi. Melarikan diri merupakan jalan termungkin, sekaligus sangat berbahaya bagi budak untuk merdeka. Mereka yang dipekerjakan di ladang misalnya, diawasi secara ketat oleh pengawal-pengawal yang kejam.
Hanya budak-budak yang kuat dan nekat saja yang berani menempuh jalan ini. Membayar tebusan merupakan sesuatu yang jauh dari mungkin, jika tidak dapat disebut mustahil, bagi para budak. Dia tidak mungkin mendapatkan harta untuk membayar dirinya. Cara ini terlaksana jika ada keluarga, famili, kaum, atau orang lain yang bermurah hati menebusnya.
Dalam bahasa yang ringkas dapat dikatakan bahwa seorang budak, dalam pengertian umum, sebagai sebuah barang atau seekor binatang yang berwujud manusia. Seseorang bisa memiliki dengan jalan menangkap, mencuri, atau membeli. Setelah dimiliki, dia bisa diperlakukan apa saja sesuai keinginan orang yang memilikinya. Dan budak tersebut sangat sulit untuk keluar dan dikeluarkan dari kubangan perbudakannya, bahkan ada yang bersama anak cucunya menjadi budak buat selamanya.
Term-Term al-Qur’an tentang Perbudakan
1. ‘Abd dan Ibad ( عبد ، عباد )
Kata ‘abada, ya’budu, ‘ibadat berarti menyembah, mengabdi, atau menghinakan diri. Dan kata ‘abd (jamaknya ‘abid atau ibad) berarti hamba, sahaya, penyembah sesuatu, atau budak; sejenis tumbuh-tumbuhan yang beraroma harum; anak panah[ix]. ‘Abd bisa berarti manusia secara umum apakah dia merdeka atau budak. Kata ini juga bisa diartikan dengan budak saja. Akan tetapi, menurut Sibawaih, makna asal dari ‘abd itu adalah budak[x].
Dalam kamus Arabic-English Dictionary, kata kerja ‘abada, bisa berarti melayani (to serve), menyembah (to worship) kepada tuhan atau memuji (to adore) kepada Tuhan atau manusia, dan memuliakan (to renerate), mendewakan (to idolize, to deify). Kata ini juga berarti memperbudak (to enslave), memikat atau mempesonakan (entrall), menundukkan (to subjugate, to subject). ‘Abada juga bisa dipakai dengan arti memperbaiki (to improve), mengembangkan (to develop), membuat bisa melayani (to make passable for traffic), juga menyediakan diri orang untuk mengabdi kepada Tuhan, atau melayani orang lain[xi]. Sebagai kata benda, ‘abd berarti budak (slave, serf), yaitu orang-orang yang terbelenggu atau menjadi pelayan. Ia juga berarti hamba Tuhan.
Al-Qur’an menyebutkan kata yang berakar dari ‘a-b-d (ع ب د ) sebanyak 275 kali, dengan perincian: ‘abada 4 kali, ya’budu 80 kali, u’bud 37 kali, yu’badu satu kali, ‘abbada satu kali, al-’abd 29 kali, ‘ibad 97 kali, ‘abiid 5 kali, ‘aabid 12 kali, dan ‘ibadat 9 kali[xii]. Dari banyak ayat yang menggunakan akar kata ‘a-b-d itu, hanya terdapat lima tempat saja (2:178, 16:75, 24:32, 26:22, 44:18) yang bermakna budak dengan pengertian seorang manusia yang menjadi hamba bagi manusia lainnya, sedangkan yang lainnya bermakna seorang manusia yang menjadi hamba Allah.
Dari lima tempat dalam al-Qur’an yang menggunakan kata ini dengan makna budak dapat dikatakan bahwa al-Qur’an berusaha menggunakan kata ini dalam konteks pembicaraan yang lebih manusiawi. Terminologi ‘abd dalam pemahaman masyarakat Arab jahiliyah memiliki konotasi negatif dan terkesan sangat merendahkan, karena kata ini menyiratkan makna bahwa seseorang itu sepenuhnya dimiliki oleh tuannya. Kemanusiaan seorang budak menjadi lenyap ketika dia disebut ‘abd. Keadaan ‘ibad tersebut persis sebagaimana nasib budak yang digambarkan dalam pengertian umum di atas. Mereka adalah hewan atau barang yang berwujud manusia.
Al-Qur’an sendiri mencoba mengilustrasikan nasib mereka secara jelas dengan firmannya:
ضَرَبَ الله مَثَلًا عَبْدًا مَمْلُوْكًا لَا يَقْدِرُ عَلَى شَئْ ٍوَمَنْ رَزَقْنَاهُ مِنَّا رِزْقًا حَسَنًا فَهُوَ يُنْفِقُ مِنْهُ سِرًّا وَجَهْرًا هَلْ يَسْتَوُوْنَ الحَمْدَ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ (النحل : 75)
Dan Allah membuat perumpamaan dengan seorang budak yang dimiliki, yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami rizki dengan baik dari kami. Lalu dia menafkahkan sebagian dari rizki itu secara sembunyi dan terang-terangan. Adakah mereka itu sama? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Al-Nahl : 75)
Dalam ayat ini, Allah mengibaratkan mereka sebagai sembahan selain Allah, yang tidak bisa berbuat apa-apa, sekalipun untuk dirinya sendiri[xiii]. Selain ayat tersebut, penggunaan kata ‘abd lainnya dalam al-Qur’an selalu dikaitkan dengan hak seorang budak. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa, sekalipun orang-orang yang dimiliki itu adalah budak, namun mereka juga memiliki hak-hak tertentu seperti orang merdeka. Al-Qur’an tetap menjunjung tinggi keberadaan mereka sebagai manusia, sebagaimana orang merdeka.
Jika orang merdeka butuh perlakuan adil, maka budakpun demikian juga. Maka, apabila seorang budak dibunuh oleh budak lainnya, maka pembunuh itu juga wajib di-qishash (kutiba ‘alaikum la-qishash fi al-qatla …… wa al-’abd bi al-’abd) kamu wajib melaksanakan qishash dalam kasus pembunuhan …….. dan seorang budak yang membunuh budak lainnya wajib di-qishash[xiv]. Mereka juga manusia biasa yang butuh keluarga dan pasangan hidup. Maka menjadi kewajiban umat Islam secara umum dan tuannya secara khusus untuk mencarikan pasangan hidup jika mereka sudah patut menikah (wa inkihu al-ayama minkum wa al-shalihin min ‘ibadikum wa ima’ikum) dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan para hamba sahaya di kalangan kamu yang telah pantas untuk menikah[xv].
Untuk menghapuskan pandangan negatif kepada manusia yang berstatus budak itu Rasulullah keberatan jika mereka disebut ‘abd. Beliau menyuruh umat Islam mengganti panggilan itu dengan maa malakat ayman (apa yang dimiliki oleh tangan kanan) dan fata (pemuda). Karena kata ‘abd tersebut hanya pantas disebutkan untuk menggambarkan keberadaan manusia terhadap Allah saja.
Jadi, al-Qur’an tetap mengakui bahwa budak merupakan milik tuannya. Namun al-Qur’an memberikan catatan bahwa kepemilikan itu tidak mutlak seperti zaman sebelumnya. Budak harus mendapatkan pengakuan terhadap kemanusiaannya, dan karena itu mereka juga berhak terhadap perlakuan-perlakuan baik sebagaimana manusia lainnya. Seseorang tidak boleh memanggil, apalagi menganggap bahwa budak yang dimilikinya itu sama dengan barang atau binatang. Seiring dengan hak tuan terhadap budaknya, dia juga mempunyai kewajiban tertentu yang harus ditunaikan.
2. Maa Malakat Aymaan (ما ملكت أيمان )
Malaka, yamliku, milkan, mulkan berarti memiliki atau mempunyai sesuatu[xvi]. Sedangkan yamin (jamaknya aymun atau ayman) berarti sebelah kanan atau tangan kanan[xvii]. Kata maa malakat ayman terdapat 14 kali dalam al-Qur’an (al-Nisa: 3, 24, 25, 36 ; al-Mukminun: 6 ; al-Nur: 31, 33, 58 ; al-Rum: 28; al-Ahzab: 50, 52, 55 ; dan al-ma’arij: 30. disamping itu terdapat dua kali dengan redaksi maa malakat yamin (al-Ahzab: 50, 52)[xviii].
Ungkapan maa malakat ayman (apa yang dimiliki oleh tangan kanan) berarti al-raqiq atau budak[xix]. Budak yang dimaksud adalah budak yang pada mulanya didapatkan dari tawanan perang atau jihad dalam rangka menegakan agama Islam. Budak tersebut tidak berasal dari penculikan, perampokan, dan perang yang dilandasi oleh keserakahan.
Ayat-ayat yang memuat ungkapan maa malakat ayman tersebut pada umumnya membicarakan persoalan rumah tangga seseorang yang memiliki budak. Dengan kata lain, ayat-ayat yang menggunakan istilah maa malakat ayman lebih banyak berbicara tentang bagaimana posisi budak dalam rumah-tangga tuannya. Aturan-aturan tersebut, dari persoalan besr sampai pada masalah yang sekecil-kecilnya, sangatlah penting mengingat kehidupan budak tidfak bisa dilepaskan dari kehidupan tuannya.
Al-Qur’an membolehkan seorang tuan menggauli, sebagaimana layaknya pergaulan suami-istri, seorang budak perempuan yang dimilikinya (al-Nisa:3, 24; al-Ahzab: 50, 52). Hal tersebut dapat dilihat dari ungkapan … fain khiftum allaa ta’dilu fawahidatan aw ma malakat aymanukum (maka jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil dengan lebih satu istri, maka nikahlah dengan satu istri saja atau (bergaul) dengan budak wanita yang kamu miliki). Budak perempuan boleh digauli, sebagaimana terhadap istri yang halal dipergauli dengan akad nikah[xx].
Jika seseorang belum mampu kawin dengan perempuan merdeka, sedangkan dia sangat berkeinginan untuk kawin dan takut akan terjerumus kedalam maksiat, maka dia bisa mencari pasangan hidupnya diantara wanita-wanita budak muslimah, dengan seizin tuannya. Hal ini seperti dinyatakan wa man lam yastathi’ minkum thawlan an yankiha al-muhshanat wa al-mu’minat faminmaa malakat aymanukum min fatayatikum al-mu’minat (maka barangsiapa tidak sanggup menikah dengan perempuan mukmin, dia bisa menikah dengan perempuan budak mukmin yang ada diantara kamu)[xxi].
Seorang muslim dan muslimah diperintahkan secara ketat untuk menjaga kehormatan (auratnya) kecuali salah satunya, terhadap budaknya (al-mukminun:6, al-Nur:31, 58; al-ahzab:55; al-ma’arij:30), seperti wa al-ladzinahum lifurujihim hafidzun illa ‘ala azwajihim aw maa malakat aymanuhum fa innahum ghayru malumin (dan orang-orang yang memelihara kehormatannya, kecuali terhadap istri-istri dan budak-budak perempuan mereka, hal itu tidaklah tercela bagi mereka). Semua ini disebabkan karena, dalam batas-batas tertentu, budak itu dianggap sebagai keluarga sendiri.
Juga dibicarakan disana bahwa di dalam rizki yang telah diberikan Allah juga terdapat hak-hak budak yang harus diberikan kepada budak (al-Nahl:71; al-Rum:28) seperti ayat fa ma alladzina fudhdhilu biraddi rizqihim ‘ala maa malakat aymanuhum fahum fihi sawa’ (tetapi orang-orang yang mendapatkan kelebihan rizki tidak mau membagikan kepada budak-budak yang mereka miliki dari dapat sama-sama menikmatinya).
Seorang tuan harus memberikan peluang kepada budak untuk membuat perjanjian merdeka dan sang tuan membantunya untuk mencarikan tebusan yang disepakati. Dikatakan wa alladzina yabtaghuna al-kitab min maa malakat aymanukum fa katibuhum in ‘alimtum fihim khayran (dan jika budakmu menginginkan perjanjian untuk merdeka, maka hendaklah kamu turuti keinginannya, itu seandainya kamu lihat ada kebaikan disana[xxii]). Dan seorang muslim juga diperintahkan berbuat ihsan kepada budak sebagaimana pada keluarga sendiri (wa bi al-walidaini ihsanan … wa maa malakat aymanukum dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua orang tuamu … juga hendaklah berbuat baik kepada budak-budak yang kamu miliki)[xxiii].
Dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut dapat dikatakan bahwa ungkapan maa malakat ayman itu digunakan untuk menunjukkan kedekatan kehidupan fisik, perasaan dan hubungan sosial antara budak dengan tuannya. Ungkapan maa malakat ayman juga mengandung makna bahwa tuan memiliki tanggungjawab yang tidak ringan terhadap budaknya, karena mereka adalah orang-orang yang dimiliki oleh tangan kanan. Tuan bertanggungjawab terhadap kebutuhan hidupnya karena dalam harta tuan juga terdapat hak budak. Tuan tidak boleh menghalangi budaknya untuk mencapai kesempurnaan hidup. Maka, jika budak ingin merdeka dengan suatu perjanjian, tuan harus memenuhinya. Bahkan tuan harus membantu secara materi agarbudak bisa membayar kemerdekaannya sesuai dengan kesepakatan.
3. Raqabat dan Riqab (رقبة ، رقاب )
raqaba, yarqubu, raqabat, berarti mengintip, melihat atau menjaga. Raqabat (jamaknya riqab) berarti leher, budak atau hamba. Raqabat, muraqabat berarti penjagaan, pengawasan. Raqib, muraqib berarti yang menjaga, pengawas atau pemilik. Ketika menjelaskan ayat-ayat tentang raqabat ini, para mufassir mengartikannya dengan budak yang harus dibantu untuk memerdekakannya. Menurut jumhur ulama, budak yang dibantu memerdekakannya itu adalah budak mukatab atau yang telah membuat perjanjian merdeka bersama tuannya dengan pembayaran tertentu. Ulama lain mengatakan bantuan memerdekakan itu bisa jadi dengan membeli budak untuk dimerdekakan, atau tidak memperbudak tawanan perang, tapi membebaskannya[xxiv].
Dalam al-Qur’an, istilah raqabat terdapat di al-nisa:89, 92; al-mujadalah:3, al-Balad:13. riqab terdapat di al-baqarah:177; al-taubat:60; dan Muhammad:4[xxv]. Ayat-ayat yang menggunakan kata ini umumnya membicarakan tentang pembebasan seorang budak dari perbudakannya.
Sejak semula Islam telah mengumumkan permusuhannya terhadap perbudakan, dengan ungkapan al-Qur’an fakku raqabat (memerdekakan budak)[xxvi], meskipun diakui bahwa pekerjaan itu cukup berat (al-’aqabat). Namun mengingat kemaslahatan umat secara lebih luas, al-Qur’an memandang tidak mungkin penghapusan perbudakan dilakukan sekaligus. Untuk itulah al-Qur’an memulainya dengan menganjurkan memerdekakan budak dengan menggolongkan perbuatan itu kepada birr (kebajikan) sebagaimana iman, shadaqah, jihad dan lainnya (al-baqarah:177). Dan pada tahap akhir, al-Qur’an memasukkan pemerdekaan budak sebagai salah satu jalan penyaluran zakat atau shadaqah yang wajib dikeluarkan (al-taubat:60).
Makna asal dari raqabat adalah “leher”. Kemudian kata ini diartikan sebagai manusia yang terbelenggu (terikat lehernya) dengan tali. Kesan yang diperoleh dari istilah diatas sangat buruk. Ia menggambarkan seseorang yang terikat lehernya seperti binatang. Kesan buruk serta keadaan sebenarnya yang dialami oleh hamba sahaya itulah yang ingin dihapuskan oleh al-Qur’an. Karena itu pula al-Qur’an dan Nabi Muhammad sejak awal Islam memilih untuk tidak menamakan mereka dengan ‘abd (hamba sahaya), tetapi dengan sebutan maa malakat aymanukum (apa yang dimiliki oleh tangan kananmu)[xxvii].
4. Amat dan Ima’ ( أمة ، إماء )
Amat (yang berarti budak perempuan) merupakan bentuk tunggal dari ima’. Kata amat, bentuk asalnya adalah amuwat, yang kemudian dihilangkan waw-nya[xxviii]. al-amat berarti kebalikan dari seorang perempuan merdeka, yaitu seorangbudak aau perempuan yang dikuasai (al-mamlukat).
Al-Qur’an hanya dua kali saja menggunakan kata ini. Satu kali dalam bentuk mufrad (amat) dan satu lagi dalam bentuk jamak (ima’)[xxix]. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa seorang budak perempuan yang tidak cantik, tetapi mukminat yang taat, maka dia lebih pantas dikawini oleh seorang pemuda muslim daripada wanita merdeka, cantik, tapi musyrik (wa laa tankihu al-musyrikat hatta yu’minna wala amatun mu’minatun khayrun min musyrikatin walaw a’jabatkum) dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik, sampai dia beriman. Sebenarnya lebih baik bagimu mengambil istri seorang budak yang beriman daripada perempuan musyrik, meskipun dia sangat memikat hatimu[xxx].
Dan juga diperintahkan kepada orang beriman untuk membantu seorang budak wanita untuk mencarikan suami baginya, begitupun dengan budak laki-laki yang membutuhkan istri (wa inkihu al-ayama minkim wa al-shalihin min ‘ibadikum wa ima’ikum)[xxxi].
Kedua ayat diatas berbicara dalam konteks pernikahan atau dalam rangka bagaimana seorang budak perempuan memelihara kesucian dirinya dan bagaimana pula sikap umat Islam untuk menjaga dan melindungi kehormatan budak tersebut. Istilah Amat, sepertihalnya ‘abd dalam terminologi arab jahiliyah berkonotasi negatif dan terkesan menghinakan orang yang dikenakan sebutan itu. Dia menjadi milik tuannya. Itulah sebabnya Rasul melarang umat Islam untuk menyebut budak perempuan itu dengan Amat. Beliau menyuruh mengganti istilah itu dengan fatat (pemudi)[xxxii].
Karena telah begitu buruknya perlakuan yang diterima seorang amat, hingga kehormatannya tidak dihargai, maka al-Qur’an menggunakan istilah ini dengan menyebut hak-hak khususnya yang harus dilindungi. Amat harus dilindungi kehormatannya, dan seorang amat yang menjaga kehormatannya bisa lebih baik dari wanita merdeka yang musyrik.
5. Fatayat (فتيات )
Fatiya, yafta, fatan berarti muda. Fata (jamaknya Fityan) orang muda, pemuda, atau budak laki-laki. Sedangkan fatat (jamaknya fatayat) berarti perempuan muda, pemudi, atau budak perempuan[xxxiii]. Al-Qur’an menggunakan kata yang berakar sama dengan ini sebanyak 10 kali. Delapan kali diantaranya dengan makna pemuda (Yusuf:30, 36, 62; al-kahfi:10, 13, 60, 62; al-anbiya’:60) dan dua kali dengan makna pemudi (al-nisa:25; al-nur:33)[xxxiv].
Dari sepuluh kata tersebut, hanya dua yang bermakna budak. Satu ayat diantaranya berisi tentang dibolehkannya meniikahi budak perempuan, dengan izin walinya, bagi seseorang yang tidak mampu menikah dengan perempuan merdeka. Dan ayat lainnya melarang keras menjadikan budak wanita sebagai pelacur.
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُم طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمْ الْمُؤْمِنَاتِ وَالله أَعْلَمُ بِإِيْمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوْهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ .. (النساء : 25)
Dan barangsiapa diantara kamu (yang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka dan beriman, ia boleh mengawini wanita beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu, sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain. Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuannya. (al-nisa:25)
… وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهنَّ فَإِنَّ الله مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ (النور : 33)
Dan janganlah paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran sedang diri mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (al-Nur:33)
Al-Qur’an menyebut budak dengan fata atau fatat, agaknya menunjukkan bahwa mereka masih muda (terutama secara psikologis) dan perlu diarahkan untuk menemukan dirinya kembali. Mereka sesungguhnya potensial menjadi orang hebat sejauhmana dia diarahkan, dibina, dan dibangkitkan kesadaran akan potensi dirinya (seperti seorang pemuda). Penggunaan kata fata untuk menyebut budak juga bermaksud untuk memuliakannya. Karena, kata ini juga dipakai untuk orang mulia di sisi Allah dan diakui kebesarannya oleh manusia seperti Ibrahim (al-anbiya’:60), Yusuf (yusuf:30), dan pemuda ashab al-kahfi (al-kahfi:10, 13).
Sikap Al-Qur’an Terhadap Perbudakan
Perbudakan secara asasi bertentangan dengan ajaran tauhid yang melarang seseorang menjadi hamba bagi manusia lainnya. Membiarkan perbudakan berarti juga syirik, sebab seorang pemilik budak, yang menjadikan manusia lain sebagai hambanya, berarti menempatkan dirinya sebagai sekutu bagi Allah. Manusia hanya boleh menjadi hamba Allah, bukan hamba bagi manusia lainnya.
Pernyataan bahwa manusia itu hamba Allah tidak berarti manusia memperbudak diri dan mengerdilkan dirinya. Justru sebaliknya, dengan menghamba hanya kepada Allah manusia akan membebaskan dirinya dari segala macam bentuk perbudakan. Maka sesuai dengan ajaran tauhid, Islam tidak merestui perbudakan[xxxv].
Karena itu, sejak awal al-Qur’an telah menegaskan bahwa salah satu misi suci yang akan diperjuangkan Islam adlah membebaskan para budak dari belenggu perbudakan (fakku al-raqabat). Islam sejak awal sampai akhir adalah agama rahmatan li al-’alamin. Itulah sebabnya, al-Qur’an tidak membicarakan sebab yang bisa melegalkan sebuah perbudakan. Artinya, tiada syarat atau kriteria tertentu yang dapat menjadikan seseorang sebagai budak. Pembicaraan tentang perbudakan dalam al-Qur’an selalu mengarah pada penghapusan perbudakan.
Secara kronologis, ayat-ayat yang berbicara tentang perbudakan mengarah pada sasaran yang jelas, yakni menghapuskan perbudakan secara gradual. Setelah Islam menyatakan bahwa salah satu misi utamanya adalah mengikis perbudakan, maka Islam mulai bergerak dengan langkah yang paling mendasar. Mulanya, masih pada periode Makkah, al-Qur’an membolehkan tuan menggauli budaknya, tapi sudah dikaitkan dengan memelihara kehormatan (al-mukminun:5-7 dan al-ma’arij:29-30).
Pada periode Madinah, al-Qur’an berbicara lebih menukik dengan mengatakan bahwa memerdekakan budak itu termasuk birr (al-baqarah:177) dan setiap pembunuh budak harus ditindak tegas, kalau sesama budak dengan qishash (al-baqarah:178). Jika pada periode Makkah budak bisa digauli, maka sekarang dianjurkan untuk menikahinya karena budak mukmin lebih layak dinikahi daripada wanita merdeka yang musyrik (al-baqarah:221). Dan setelah perang Badar pintu perbudakan mulai ditutup dengan membebaskan tawanan perang, dengan atau tanpa tebusan (muhammad:4).
Gerakan pemerdekaan budak lebih dipertegas dengan membolehkan budak menuntut mukatabah (perjanjian merdeka) kepada tuannya (al-Nur:33 yang dikaitkan dengan al-baqarah:177). Tahap selanjutnya, mengawini budak sudah harus melalui izin, dipinang, diberi mahar, dan harus dihukum jika berzina (al-nisa’:25). Berbuat ihsan kepada budak sudah dikaitkan dengan tauhid dan disejajarkan denagn ihsan kepada ornag-orang yang dihormati, seperti orang tua, karib, kerabat, dan sebagainya (al-Nisa:36).
Selanjutnya, jalur pembebasan dimekarkan dengan cara kaffarat terhadap suatu pelanggaran syari’at. Jika seseorang membunuh tanpa sengaja (al-Nisa’:92), men-dzihar istri (al-mujadilah:4) atau melanggar sumpah (al-maidah:89) maka salah satu altenatif dendanya adalah memerdekakan budak. Jika sebelumnya memerdekakan budak hanya dianjurkan, atau dikaitkan dengan birr dan ihsan, maka sekarang dikaitkan dengan shadaqah (zakat), sesuatu yang wajib dibayarkan (al-taubat:60).
Dari rentetan ayat al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa sesungguhnya pembebasan budak telah diprogram sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi perbudakan di dunia ini, khususnya dalam masyarakat Islam. Di situ juga terlihat bahwa al-Qur’an tidak terburu-buru dan drastis. Akan tetapi semua itu dilakukan dengan hati-hai, gradual, sistematis, realistis, dan manusiawi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam menghapuskan perbudakan, Islam menempuh cara yang bijaksana dan mempertimbangkan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya
Dalam (kamus) bahasa Indonesia, budak berarti anak, kanak-kanak; abdi, hamba; dan orang gajian[i]. Dalam (kamus) bahasa Inggris, terdapat dua istilah yang sering diartikan sebagai budak, yaitu servant dan slave. Servant berarti pelayan, pembantu; orang yang mengabdi pada seseorang atau sesuatu[ii]. Dari sinilah istilah civil servant, yang dalam bahasa Indonesia diartikan dengan pegawai negeri. Dan slave berarti budak, pekerja keras, atau orang yang dipengaruhi oleh kebiasaan[iii].
Menurut Hamka budak berarti seseorang yang tidak merdeka. Dia menjadi milik tuannya sebagaimana seseorang memiliki sebuah barang. Budak boleh dijual, dihadiahkan atau dijadikan sebagai istri. Anak hasil hubungan seorang tuan dengan budaknya adalah sah hukumnya[iv]. Dengan demikian, budak menjadi milik tuannya semata-mata[v].
Secara hukum, budak merupakan orang yang setengah manusia (merdeka). Di satu sisi dia merupakan manusia yang normal dan di sisi lain dia adalah harta atau benda yang sepenuhnya dimiliki oleh tuannya dan dapat diperjualbelikan jika sang tuan menghendakinya. Budak tidak bisa berbuat sesuatu sesuai dengan keinginannya. Dia harus berfikir dan berbuat sesuai dan untuk kepentingan tuannya.
Dalam pengertian umum yang berlaku diluar Islam, budak dapat diartikan sebagai manusia-manusia sangat malang dalam hidupnya. Karakteristik kehidupan mereka dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, budak berasal atau didapatkan dari peperangan, pembelian, penculikan, penangkapan, dan keturunan (anak dari seorang budak). Kisah yang dialami Zaid bin Haritsah misalnya, adalah contoh dari sebuah penangkapan. Zaid ketika masih kecil, dibawa oleh ibunya ke kampung bani Ma’na. tidak berapa lama kemudain daerah tersebut dirampok oleh sekelompok badui dan menangkapi wanita dan anak-anaknya yang tidak sempat melarikan diri, termasuk Zaid bin Haritsah yang ditinggalkan ibunya. Zaid kecil tersebut kemudian dibawa ke pasar budak, ‘ukadz, untuk dijual[vi].
Kedua, budak merupakan manusia yang dimatikan keinginan, rasa, pikiran, dan cita-citanya. Dia tidak boleh berkeinginan dan bercita-cita diluar batasan hidup yang ditetapkan tuannya. Budak tidak perlu merasa jijik, letih, penasaran, sedih, enggan, dan menolak segala tugas yang diberikan sang tuan. Baginya tidak ada alternatif lain kecuali mengikuti orang yang mempunyainya. Budak juga tidak udah berpikiran diluar batas tugasnya. Jika sang tuan menyuruh bekerja di ladang, dia tidak perlu memikirkan tentang hasil kerjanya, bagaimana mengolah dan kemana dijual. Tugasnya adalah bekerja, maka segenap pikiran, perasaan, dan tenaganya harus terpusat pada pekerjaan itu, bukan untuk yang lain.
Ketiga, budak dimiliki oleh tuannya. Perlakuan tuan terhadap budaknya sama dengan perlakuan seseorang terhadap hewan atau barang. Dia bisa dipekerjakan tanpa gaji, bahkan hanya diberi makan, pakaian, dan tempat tinggal sekedarnya. Seperti halnya Bilal bin Rabah sebelum Islam yang hanya mendapatkan dua genggam kurma dari menggembala unta dan domba[vii].
Budak juga bisa diterlantarkan, dijual, dibuang, dihadiahkan, dianiaya, dan dibunuh. Kalau dia wanita, kalau sang tuan mau, dia bisa digauli tanpa harus dinikahi. Al-Qur’an (an-Nahl:75) mengistilahkan nasib budak ini dengan “abdan mamlukan laa yaqdiru ‘ala syai’” (seseorang yang benar-benar dikuasai oleh orang lain sehingga tidak bisa berbuat apa-apa, termasuk pada dirinya sendiri).
Pada zaman Romawi kuno, budak tidak hanya disuruh bekerja di ladang atau lahan produktif lainnya. Akan tetapi, disamping pekerjaan rutin itu, mereka disuruh “menghibur” tuan-tuan mereka dengan mempertaruhkan nyawanya. Budak-budak dijadikan tontonan dengan jalan mengadu sesama mereka dalam satu perkelahian hidup mati. Mereka saling membunuh untuk mempertahankan kehidupan masing-masing. Keringat bercucuran, darah mengalir, dan mereka menggelepar-gelepar seperti ayam yang menyambut kematian, merupakan hiburan yang sangat menyenangkan bagi tuan-tuan mereka[viii].
Keempat, budak bisa mendapatkan kemerdekaannya dengan jalan melarikan diri, membayar tebusan kepada tuan dengan harga yang ditentukan, atau dibuang oleh tuannya karena tidak bisa dimanfaatkan lagi. Melarikan diri merupakan jalan termungkin, sekaligus sangat berbahaya bagi budak untuk merdeka. Mereka yang dipekerjakan di ladang misalnya, diawasi secara ketat oleh pengawal-pengawal yang kejam.
Hanya budak-budak yang kuat dan nekat saja yang berani menempuh jalan ini. Membayar tebusan merupakan sesuatu yang jauh dari mungkin, jika tidak dapat disebut mustahil, bagi para budak. Dia tidak mungkin mendapatkan harta untuk membayar dirinya. Cara ini terlaksana jika ada keluarga, famili, kaum, atau orang lain yang bermurah hati menebusnya.
Dalam bahasa yang ringkas dapat dikatakan bahwa seorang budak, dalam pengertian umum, sebagai sebuah barang atau seekor binatang yang berwujud manusia. Seseorang bisa memiliki dengan jalan menangkap, mencuri, atau membeli. Setelah dimiliki, dia bisa diperlakukan apa saja sesuai keinginan orang yang memilikinya. Dan budak tersebut sangat sulit untuk keluar dan dikeluarkan dari kubangan perbudakannya, bahkan ada yang bersama anak cucunya menjadi budak buat selamanya.
Term-Term al-Qur’an tentang Perbudakan
1. ‘Abd dan Ibad ( عبد ، عباد )
Kata ‘abada, ya’budu, ‘ibadat berarti menyembah, mengabdi, atau menghinakan diri. Dan kata ‘abd (jamaknya ‘abid atau ibad) berarti hamba, sahaya, penyembah sesuatu, atau budak; sejenis tumbuh-tumbuhan yang beraroma harum; anak panah[ix]. ‘Abd bisa berarti manusia secara umum apakah dia merdeka atau budak. Kata ini juga bisa diartikan dengan budak saja. Akan tetapi, menurut Sibawaih, makna asal dari ‘abd itu adalah budak[x].
Dalam kamus Arabic-English Dictionary, kata kerja ‘abada, bisa berarti melayani (to serve), menyembah (to worship) kepada tuhan atau memuji (to adore) kepada Tuhan atau manusia, dan memuliakan (to renerate), mendewakan (to idolize, to deify). Kata ini juga berarti memperbudak (to enslave), memikat atau mempesonakan (entrall), menundukkan (to subjugate, to subject). ‘Abada juga bisa dipakai dengan arti memperbaiki (to improve), mengembangkan (to develop), membuat bisa melayani (to make passable for traffic), juga menyediakan diri orang untuk mengabdi kepada Tuhan, atau melayani orang lain[xi]. Sebagai kata benda, ‘abd berarti budak (slave, serf), yaitu orang-orang yang terbelenggu atau menjadi pelayan. Ia juga berarti hamba Tuhan.
Al-Qur’an menyebutkan kata yang berakar dari ‘a-b-d (ع ب د ) sebanyak 275 kali, dengan perincian: ‘abada 4 kali, ya’budu 80 kali, u’bud 37 kali, yu’badu satu kali, ‘abbada satu kali, al-’abd 29 kali, ‘ibad 97 kali, ‘abiid 5 kali, ‘aabid 12 kali, dan ‘ibadat 9 kali[xii]. Dari banyak ayat yang menggunakan akar kata ‘a-b-d itu, hanya terdapat lima tempat saja (2:178, 16:75, 24:32, 26:22, 44:18) yang bermakna budak dengan pengertian seorang manusia yang menjadi hamba bagi manusia lainnya, sedangkan yang lainnya bermakna seorang manusia yang menjadi hamba Allah.
Dari lima tempat dalam al-Qur’an yang menggunakan kata ini dengan makna budak dapat dikatakan bahwa al-Qur’an berusaha menggunakan kata ini dalam konteks pembicaraan yang lebih manusiawi. Terminologi ‘abd dalam pemahaman masyarakat Arab jahiliyah memiliki konotasi negatif dan terkesan sangat merendahkan, karena kata ini menyiratkan makna bahwa seseorang itu sepenuhnya dimiliki oleh tuannya. Kemanusiaan seorang budak menjadi lenyap ketika dia disebut ‘abd. Keadaan ‘ibad tersebut persis sebagaimana nasib budak yang digambarkan dalam pengertian umum di atas. Mereka adalah hewan atau barang yang berwujud manusia.
Al-Qur’an sendiri mencoba mengilustrasikan nasib mereka secara jelas dengan firmannya:
ضَرَبَ الله مَثَلًا عَبْدًا مَمْلُوْكًا لَا يَقْدِرُ عَلَى شَئْ ٍوَمَنْ رَزَقْنَاهُ مِنَّا رِزْقًا حَسَنًا فَهُوَ يُنْفِقُ مِنْهُ سِرًّا وَجَهْرًا هَلْ يَسْتَوُوْنَ الحَمْدَ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ (النحل : 75)
Dan Allah membuat perumpamaan dengan seorang budak yang dimiliki, yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami rizki dengan baik dari kami. Lalu dia menafkahkan sebagian dari rizki itu secara sembunyi dan terang-terangan. Adakah mereka itu sama? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Al-Nahl : 75)
Dalam ayat ini, Allah mengibaratkan mereka sebagai sembahan selain Allah, yang tidak bisa berbuat apa-apa, sekalipun untuk dirinya sendiri[xiii]. Selain ayat tersebut, penggunaan kata ‘abd lainnya dalam al-Qur’an selalu dikaitkan dengan hak seorang budak. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa, sekalipun orang-orang yang dimiliki itu adalah budak, namun mereka juga memiliki hak-hak tertentu seperti orang merdeka. Al-Qur’an tetap menjunjung tinggi keberadaan mereka sebagai manusia, sebagaimana orang merdeka.
Jika orang merdeka butuh perlakuan adil, maka budakpun demikian juga. Maka, apabila seorang budak dibunuh oleh budak lainnya, maka pembunuh itu juga wajib di-qishash (kutiba ‘alaikum la-qishash fi al-qatla …… wa al-’abd bi al-’abd) kamu wajib melaksanakan qishash dalam kasus pembunuhan …….. dan seorang budak yang membunuh budak lainnya wajib di-qishash[xiv]. Mereka juga manusia biasa yang butuh keluarga dan pasangan hidup. Maka menjadi kewajiban umat Islam secara umum dan tuannya secara khusus untuk mencarikan pasangan hidup jika mereka sudah patut menikah (wa inkihu al-ayama minkum wa al-shalihin min ‘ibadikum wa ima’ikum) dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan para hamba sahaya di kalangan kamu yang telah pantas untuk menikah[xv].
Untuk menghapuskan pandangan negatif kepada manusia yang berstatus budak itu Rasulullah keberatan jika mereka disebut ‘abd. Beliau menyuruh umat Islam mengganti panggilan itu dengan maa malakat ayman (apa yang dimiliki oleh tangan kanan) dan fata (pemuda). Karena kata ‘abd tersebut hanya pantas disebutkan untuk menggambarkan keberadaan manusia terhadap Allah saja.
Jadi, al-Qur’an tetap mengakui bahwa budak merupakan milik tuannya. Namun al-Qur’an memberikan catatan bahwa kepemilikan itu tidak mutlak seperti zaman sebelumnya. Budak harus mendapatkan pengakuan terhadap kemanusiaannya, dan karena itu mereka juga berhak terhadap perlakuan-perlakuan baik sebagaimana manusia lainnya. Seseorang tidak boleh memanggil, apalagi menganggap bahwa budak yang dimilikinya itu sama dengan barang atau binatang. Seiring dengan hak tuan terhadap budaknya, dia juga mempunyai kewajiban tertentu yang harus ditunaikan.
2. Maa Malakat Aymaan (ما ملكت أيمان )
Malaka, yamliku, milkan, mulkan berarti memiliki atau mempunyai sesuatu[xvi]. Sedangkan yamin (jamaknya aymun atau ayman) berarti sebelah kanan atau tangan kanan[xvii]. Kata maa malakat ayman terdapat 14 kali dalam al-Qur’an (al-Nisa: 3, 24, 25, 36 ; al-Mukminun: 6 ; al-Nur: 31, 33, 58 ; al-Rum: 28; al-Ahzab: 50, 52, 55 ; dan al-ma’arij: 30. disamping itu terdapat dua kali dengan redaksi maa malakat yamin (al-Ahzab: 50, 52)[xviii].
Ungkapan maa malakat ayman (apa yang dimiliki oleh tangan kanan) berarti al-raqiq atau budak[xix]. Budak yang dimaksud adalah budak yang pada mulanya didapatkan dari tawanan perang atau jihad dalam rangka menegakan agama Islam. Budak tersebut tidak berasal dari penculikan, perampokan, dan perang yang dilandasi oleh keserakahan.
Ayat-ayat yang memuat ungkapan maa malakat ayman tersebut pada umumnya membicarakan persoalan rumah tangga seseorang yang memiliki budak. Dengan kata lain, ayat-ayat yang menggunakan istilah maa malakat ayman lebih banyak berbicara tentang bagaimana posisi budak dalam rumah-tangga tuannya. Aturan-aturan tersebut, dari persoalan besr sampai pada masalah yang sekecil-kecilnya, sangatlah penting mengingat kehidupan budak tidfak bisa dilepaskan dari kehidupan tuannya.
Al-Qur’an membolehkan seorang tuan menggauli, sebagaimana layaknya pergaulan suami-istri, seorang budak perempuan yang dimilikinya (al-Nisa:3, 24; al-Ahzab: 50, 52). Hal tersebut dapat dilihat dari ungkapan … fain khiftum allaa ta’dilu fawahidatan aw ma malakat aymanukum (maka jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil dengan lebih satu istri, maka nikahlah dengan satu istri saja atau (bergaul) dengan budak wanita yang kamu miliki). Budak perempuan boleh digauli, sebagaimana terhadap istri yang halal dipergauli dengan akad nikah[xx].
Jika seseorang belum mampu kawin dengan perempuan merdeka, sedangkan dia sangat berkeinginan untuk kawin dan takut akan terjerumus kedalam maksiat, maka dia bisa mencari pasangan hidupnya diantara wanita-wanita budak muslimah, dengan seizin tuannya. Hal ini seperti dinyatakan wa man lam yastathi’ minkum thawlan an yankiha al-muhshanat wa al-mu’minat faminmaa malakat aymanukum min fatayatikum al-mu’minat (maka barangsiapa tidak sanggup menikah dengan perempuan mukmin, dia bisa menikah dengan perempuan budak mukmin yang ada diantara kamu)[xxi].
Seorang muslim dan muslimah diperintahkan secara ketat untuk menjaga kehormatan (auratnya) kecuali salah satunya, terhadap budaknya (al-mukminun:6, al-Nur:31, 58; al-ahzab:55; al-ma’arij:30), seperti wa al-ladzinahum lifurujihim hafidzun illa ‘ala azwajihim aw maa malakat aymanuhum fa innahum ghayru malumin (dan orang-orang yang memelihara kehormatannya, kecuali terhadap istri-istri dan budak-budak perempuan mereka, hal itu tidaklah tercela bagi mereka). Semua ini disebabkan karena, dalam batas-batas tertentu, budak itu dianggap sebagai keluarga sendiri.
Juga dibicarakan disana bahwa di dalam rizki yang telah diberikan Allah juga terdapat hak-hak budak yang harus diberikan kepada budak (al-Nahl:71; al-Rum:28) seperti ayat fa ma alladzina fudhdhilu biraddi rizqihim ‘ala maa malakat aymanuhum fahum fihi sawa’ (tetapi orang-orang yang mendapatkan kelebihan rizki tidak mau membagikan kepada budak-budak yang mereka miliki dari dapat sama-sama menikmatinya).
Seorang tuan harus memberikan peluang kepada budak untuk membuat perjanjian merdeka dan sang tuan membantunya untuk mencarikan tebusan yang disepakati. Dikatakan wa alladzina yabtaghuna al-kitab min maa malakat aymanukum fa katibuhum in ‘alimtum fihim khayran (dan jika budakmu menginginkan perjanjian untuk merdeka, maka hendaklah kamu turuti keinginannya, itu seandainya kamu lihat ada kebaikan disana[xxii]). Dan seorang muslim juga diperintahkan berbuat ihsan kepada budak sebagaimana pada keluarga sendiri (wa bi al-walidaini ihsanan … wa maa malakat aymanukum dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua orang tuamu … juga hendaklah berbuat baik kepada budak-budak yang kamu miliki)[xxiii].
Dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut dapat dikatakan bahwa ungkapan maa malakat ayman itu digunakan untuk menunjukkan kedekatan kehidupan fisik, perasaan dan hubungan sosial antara budak dengan tuannya. Ungkapan maa malakat ayman juga mengandung makna bahwa tuan memiliki tanggungjawab yang tidak ringan terhadap budaknya, karena mereka adalah orang-orang yang dimiliki oleh tangan kanan. Tuan bertanggungjawab terhadap kebutuhan hidupnya karena dalam harta tuan juga terdapat hak budak. Tuan tidak boleh menghalangi budaknya untuk mencapai kesempurnaan hidup. Maka, jika budak ingin merdeka dengan suatu perjanjian, tuan harus memenuhinya. Bahkan tuan harus membantu secara materi agarbudak bisa membayar kemerdekaannya sesuai dengan kesepakatan.
3. Raqabat dan Riqab (رقبة ، رقاب )
raqaba, yarqubu, raqabat, berarti mengintip, melihat atau menjaga. Raqabat (jamaknya riqab) berarti leher, budak atau hamba. Raqabat, muraqabat berarti penjagaan, pengawasan. Raqib, muraqib berarti yang menjaga, pengawas atau pemilik. Ketika menjelaskan ayat-ayat tentang raqabat ini, para mufassir mengartikannya dengan budak yang harus dibantu untuk memerdekakannya. Menurut jumhur ulama, budak yang dibantu memerdekakannya itu adalah budak mukatab atau yang telah membuat perjanjian merdeka bersama tuannya dengan pembayaran tertentu. Ulama lain mengatakan bantuan memerdekakan itu bisa jadi dengan membeli budak untuk dimerdekakan, atau tidak memperbudak tawanan perang, tapi membebaskannya[xxiv].
Dalam al-Qur’an, istilah raqabat terdapat di al-nisa:89, 92; al-mujadalah:3, al-Balad:13. riqab terdapat di al-baqarah:177; al-taubat:60; dan Muhammad:4[xxv]. Ayat-ayat yang menggunakan kata ini umumnya membicarakan tentang pembebasan seorang budak dari perbudakannya.
Sejak semula Islam telah mengumumkan permusuhannya terhadap perbudakan, dengan ungkapan al-Qur’an fakku raqabat (memerdekakan budak)[xxvi], meskipun diakui bahwa pekerjaan itu cukup berat (al-’aqabat). Namun mengingat kemaslahatan umat secara lebih luas, al-Qur’an memandang tidak mungkin penghapusan perbudakan dilakukan sekaligus. Untuk itulah al-Qur’an memulainya dengan menganjurkan memerdekakan budak dengan menggolongkan perbuatan itu kepada birr (kebajikan) sebagaimana iman, shadaqah, jihad dan lainnya (al-baqarah:177). Dan pada tahap akhir, al-Qur’an memasukkan pemerdekaan budak sebagai salah satu jalan penyaluran zakat atau shadaqah yang wajib dikeluarkan (al-taubat:60).
Makna asal dari raqabat adalah “leher”. Kemudian kata ini diartikan sebagai manusia yang terbelenggu (terikat lehernya) dengan tali. Kesan yang diperoleh dari istilah diatas sangat buruk. Ia menggambarkan seseorang yang terikat lehernya seperti binatang. Kesan buruk serta keadaan sebenarnya yang dialami oleh hamba sahaya itulah yang ingin dihapuskan oleh al-Qur’an. Karena itu pula al-Qur’an dan Nabi Muhammad sejak awal Islam memilih untuk tidak menamakan mereka dengan ‘abd (hamba sahaya), tetapi dengan sebutan maa malakat aymanukum (apa yang dimiliki oleh tangan kananmu)[xxvii].
4. Amat dan Ima’ ( أمة ، إماء )
Amat (yang berarti budak perempuan) merupakan bentuk tunggal dari ima’. Kata amat, bentuk asalnya adalah amuwat, yang kemudian dihilangkan waw-nya[xxviii]. al-amat berarti kebalikan dari seorang perempuan merdeka, yaitu seorangbudak aau perempuan yang dikuasai (al-mamlukat).
Al-Qur’an hanya dua kali saja menggunakan kata ini. Satu kali dalam bentuk mufrad (amat) dan satu lagi dalam bentuk jamak (ima’)[xxix]. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa seorang budak perempuan yang tidak cantik, tetapi mukminat yang taat, maka dia lebih pantas dikawini oleh seorang pemuda muslim daripada wanita merdeka, cantik, tapi musyrik (wa laa tankihu al-musyrikat hatta yu’minna wala amatun mu’minatun khayrun min musyrikatin walaw a’jabatkum) dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik, sampai dia beriman. Sebenarnya lebih baik bagimu mengambil istri seorang budak yang beriman daripada perempuan musyrik, meskipun dia sangat memikat hatimu[xxx].
Dan juga diperintahkan kepada orang beriman untuk membantu seorang budak wanita untuk mencarikan suami baginya, begitupun dengan budak laki-laki yang membutuhkan istri (wa inkihu al-ayama minkim wa al-shalihin min ‘ibadikum wa ima’ikum)[xxxi].
Kedua ayat diatas berbicara dalam konteks pernikahan atau dalam rangka bagaimana seorang budak perempuan memelihara kesucian dirinya dan bagaimana pula sikap umat Islam untuk menjaga dan melindungi kehormatan budak tersebut. Istilah Amat, sepertihalnya ‘abd dalam terminologi arab jahiliyah berkonotasi negatif dan terkesan menghinakan orang yang dikenakan sebutan itu. Dia menjadi milik tuannya. Itulah sebabnya Rasul melarang umat Islam untuk menyebut budak perempuan itu dengan Amat. Beliau menyuruh mengganti istilah itu dengan fatat (pemudi)[xxxii].
Karena telah begitu buruknya perlakuan yang diterima seorang amat, hingga kehormatannya tidak dihargai, maka al-Qur’an menggunakan istilah ini dengan menyebut hak-hak khususnya yang harus dilindungi. Amat harus dilindungi kehormatannya, dan seorang amat yang menjaga kehormatannya bisa lebih baik dari wanita merdeka yang musyrik.
5. Fatayat (فتيات )
Fatiya, yafta, fatan berarti muda. Fata (jamaknya Fityan) orang muda, pemuda, atau budak laki-laki. Sedangkan fatat (jamaknya fatayat) berarti perempuan muda, pemudi, atau budak perempuan[xxxiii]. Al-Qur’an menggunakan kata yang berakar sama dengan ini sebanyak 10 kali. Delapan kali diantaranya dengan makna pemuda (Yusuf:30, 36, 62; al-kahfi:10, 13, 60, 62; al-anbiya’:60) dan dua kali dengan makna pemudi (al-nisa:25; al-nur:33)[xxxiv].
Dari sepuluh kata tersebut, hanya dua yang bermakna budak. Satu ayat diantaranya berisi tentang dibolehkannya meniikahi budak perempuan, dengan izin walinya, bagi seseorang yang tidak mampu menikah dengan perempuan merdeka. Dan ayat lainnya melarang keras menjadikan budak wanita sebagai pelacur.
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُم طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمْ الْمُؤْمِنَاتِ وَالله أَعْلَمُ بِإِيْمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوْهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ .. (النساء : 25)
Dan barangsiapa diantara kamu (yang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka dan beriman, ia boleh mengawini wanita beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu, sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain. Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuannya. (al-nisa:25)
… وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهنَّ فَإِنَّ الله مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ (النور : 33)
Dan janganlah paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran sedang diri mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (al-Nur:33)
Al-Qur’an menyebut budak dengan fata atau fatat, agaknya menunjukkan bahwa mereka masih muda (terutama secara psikologis) dan perlu diarahkan untuk menemukan dirinya kembali. Mereka sesungguhnya potensial menjadi orang hebat sejauhmana dia diarahkan, dibina, dan dibangkitkan kesadaran akan potensi dirinya (seperti seorang pemuda). Penggunaan kata fata untuk menyebut budak juga bermaksud untuk memuliakannya. Karena, kata ini juga dipakai untuk orang mulia di sisi Allah dan diakui kebesarannya oleh manusia seperti Ibrahim (al-anbiya’:60), Yusuf (yusuf:30), dan pemuda ashab al-kahfi (al-kahfi:10, 13).
Sikap Al-Qur’an Terhadap Perbudakan
Perbudakan secara asasi bertentangan dengan ajaran tauhid yang melarang seseorang menjadi hamba bagi manusia lainnya. Membiarkan perbudakan berarti juga syirik, sebab seorang pemilik budak, yang menjadikan manusia lain sebagai hambanya, berarti menempatkan dirinya sebagai sekutu bagi Allah. Manusia hanya boleh menjadi hamba Allah, bukan hamba bagi manusia lainnya.
Pernyataan bahwa manusia itu hamba Allah tidak berarti manusia memperbudak diri dan mengerdilkan dirinya. Justru sebaliknya, dengan menghamba hanya kepada Allah manusia akan membebaskan dirinya dari segala macam bentuk perbudakan. Maka sesuai dengan ajaran tauhid, Islam tidak merestui perbudakan[xxxv].
Karena itu, sejak awal al-Qur’an telah menegaskan bahwa salah satu misi suci yang akan diperjuangkan Islam adlah membebaskan para budak dari belenggu perbudakan (fakku al-raqabat). Islam sejak awal sampai akhir adalah agama rahmatan li al-’alamin. Itulah sebabnya, al-Qur’an tidak membicarakan sebab yang bisa melegalkan sebuah perbudakan. Artinya, tiada syarat atau kriteria tertentu yang dapat menjadikan seseorang sebagai budak. Pembicaraan tentang perbudakan dalam al-Qur’an selalu mengarah pada penghapusan perbudakan.
Secara kronologis, ayat-ayat yang berbicara tentang perbudakan mengarah pada sasaran yang jelas, yakni menghapuskan perbudakan secara gradual. Setelah Islam menyatakan bahwa salah satu misi utamanya adalah mengikis perbudakan, maka Islam mulai bergerak dengan langkah yang paling mendasar. Mulanya, masih pada periode Makkah, al-Qur’an membolehkan tuan menggauli budaknya, tapi sudah dikaitkan dengan memelihara kehormatan (al-mukminun:5-7 dan al-ma’arij:29-30).
Pada periode Madinah, al-Qur’an berbicara lebih menukik dengan mengatakan bahwa memerdekakan budak itu termasuk birr (al-baqarah:177) dan setiap pembunuh budak harus ditindak tegas, kalau sesama budak dengan qishash (al-baqarah:178). Jika pada periode Makkah budak bisa digauli, maka sekarang dianjurkan untuk menikahinya karena budak mukmin lebih layak dinikahi daripada wanita merdeka yang musyrik (al-baqarah:221). Dan setelah perang Badar pintu perbudakan mulai ditutup dengan membebaskan tawanan perang, dengan atau tanpa tebusan (muhammad:4).
Gerakan pemerdekaan budak lebih dipertegas dengan membolehkan budak menuntut mukatabah (perjanjian merdeka) kepada tuannya (al-Nur:33 yang dikaitkan dengan al-baqarah:177). Tahap selanjutnya, mengawini budak sudah harus melalui izin, dipinang, diberi mahar, dan harus dihukum jika berzina (al-nisa’:25). Berbuat ihsan kepada budak sudah dikaitkan dengan tauhid dan disejajarkan denagn ihsan kepada ornag-orang yang dihormati, seperti orang tua, karib, kerabat, dan sebagainya (al-Nisa:36).
Selanjutnya, jalur pembebasan dimekarkan dengan cara kaffarat terhadap suatu pelanggaran syari’at. Jika seseorang membunuh tanpa sengaja (al-Nisa’:92), men-dzihar istri (al-mujadilah:4) atau melanggar sumpah (al-maidah:89) maka salah satu altenatif dendanya adalah memerdekakan budak. Jika sebelumnya memerdekakan budak hanya dianjurkan, atau dikaitkan dengan birr dan ihsan, maka sekarang dikaitkan dengan shadaqah (zakat), sesuatu yang wajib dibayarkan (al-taubat:60).
Dari rentetan ayat al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa sesungguhnya pembebasan budak telah diprogram sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi perbudakan di dunia ini, khususnya dalam masyarakat Islam. Di situ juga terlihat bahwa al-Qur’an tidak terburu-buru dan drastis. Akan tetapi semua itu dilakukan dengan hati-hai, gradual, sistematis, realistis, dan manusiawi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam menghapuskan perbudakan, Islam menempuh cara yang bijaksana dan mempertimbangkan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya
0 comments:
Post a Comment