Adinegoro Artwork Studio

All about design.

Desktop Themes

All about desktop themes, rainmeter, skins, ETC.

Design Service

I'll design all kind of things by request.

Knowledge

All kind of knowledge.

Just Words

Just some of beautiful words.

Showing posts with label Politics. Show all posts
Showing posts with label Politics. Show all posts

Tuesday, September 30, 2014

Model-model Kepemimpinan Politik

Model-model kepemimpinan politik kini penting untuk dikaji ulang. Indonesia sebentar lagi akan memilih presiden baru. Tanggal pemilihan tersebut 9 Juli 2014. Model-model kepemimpinan politik ditengarai penting untuk mengidentifikasi karakteristik masing-masing calon presiden yang akan bersaing nanti.

Sekurangnya terdapat 4 model kepemimpinan politik, yaitu: (1) Negarawan, (2) Demagog, (3) Politisi Biasa, dan (4) Citizen-Leader. [1] Negarawan adalah seorang pemimpin politik yang memiliki visi, karisma pribadi, kebijaksanaan praktis, dan kepedulian terhadap kepentingan umum yang kepemimpinannya itu bermanfaat bagi masyarakat. Demagog adalah seseorang yang menggunakan keahliannya memimpin untuk memeroleh jabatan publik dengan cara menarik rasa takut dan prasangka umum untuk kemudian menyalahgunakan kekuasaan yang ia peroleh tersebut demi keuntungan pribadi. Politisi seorang pemegang jabatan publik yang siap untuk mengorbankan prinsip-prinsip yang dimiliki sebelumnya atau mengesampingkan kebijakan yang tidak populer agar dapat dipilih kembali. Citizen-Leader Seseorang yang mempengaruhi pemerintah secara meyakinkan meskipun ia tidak memegang jabatan resmi pemerintahan.


Karakteristik Masing-masing Model Kepemimpinan Politik

Definisi masing-masing model kepemimpinan politik sudah diketahui. Persoalan selanjutnya adalah, bagaimana melakukan perabaan guna mengidentifikasi seorang capres masuk ke kategori mana. Untuk itu diperlukan seperangkat indikator. Indikator ini penting demi melakukan pengukuran karakter seorang individu capres.

Karakteristik Negarawan adalah:

  • Mengejar kebaikan umum. Pemimpin terbaik termotivasi bukan oleh kepentingan diri sendiri yang kasar melainkan oleh kebaikan umum.
  • Kebijaksaan yang praktis. Visi kebaikan publik, semenarik apapun tidak akan berguna tanpa orang yang punya visi tersebut tidak tahu bagaimana cara mencapainya. Sebab itu, pemimpin yang baik harus memiliki kebijaksaan yang praktis, dengan mana lewat kebijaksanaan itu, pemimpin bisa memahami hubungan antara tindakan yang diambil dengan konsekuensi-konsekuensinya.
  • Keahlian politik. Pemimpin yang baik sekaligus pula seseorang yang punya bakat dalam menilai dan melakukan pendelegasian wewenang. Dalam memimpin negara, pemimpin harus menjalankan birokrasi raksasa, mengarahkan para staf, bekerja sama dengan para legislator demi meloloskan program pemerintahan, dan menggalang opini publik sehubungan dengan kebijakan administrasi. Tanpa keahlian politik yang menyukupi, mustahil tugas-tugas berat seperti ini dapat berjalan secara baik.
  • Kesempatan luar biasa. Negarawan lahir dari suatu kondisi kritis. Ketika suatu negara berada dalam pusaran kejenuhan, kebosanan, stagnasi, disorientsi, atau perang, dari sinilah negarawan umumnya lahir.
  • Nasib baik. Terkadang, seorang negarawan lahir karena nasib baik. Kadang pula disebutkan, bahwa ia dianugerahi berkah oleh Yang Mahakuasa untuk memikul beban masyarakat dan negaranya.

Karakteristik Demagog adalah:
  • Ia mengeksploitasi prasangka publik. Sebagai seorang tokoh, demagog sangat sensitif akan prasangka-prasangka sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Ia kemudian memerankan diri sebagai berdiri di sisi masyarakat sehubungan dengan prasangka yang muncul. Peran tersebut dibarengi dengan rangkaian janji bahwa ia akan memastikan bahwa prasangka tersebut akan ditanggulangi apabila ia menduduki jabatan politik.
  • Kerap melakukan distorsi atas kebenaran. Kebenaran adalah tidak lebih dari komoditas politik. Apabila kebenaran tersebut tidak sejalan dengan prakteknya untuk menggapai kekuasaan, ia akan mendistorsinya. Distorsi tersebut sebagian besar diperkuat dengan aneka fakta "kuat" yang ia susun sehingga distorsi tersebut masuk akal. Dengan kata lain, ia membuat "babad" yaitu rangkaian cerita historis yang menguatkan posisinya di atas kebenaran yang ada.
  • Mengumbar janji-janji manis untuk memeroleh kuasa politik. Terlebih, apabila janji tersebut cukup populis dengan pangsa pemirsa yang cukup besar. Sekali lagi, bagi seorang demagog, janji adalah komoditas politik yang akan digunakannya sebagai instrumen kampanye guna meneguhkan posisinya dibanding para kompetitornya yang lain.
  • Tidak canggung menggunakan metode yang dinilai kurang bermoral. Hal ini terkait dengan karakteristik-karakteristik sebelumnya. Masalah moral bukan masalah yang harus diprioritaskan. Moral bergantung pada tujuan, dan moral dalam diri seorang demagog adalah situasi di mana keinginannya untuk berkuasa terealisasi. Tidak ada penilaian moral untuk metode yang ia gunakan untk menyapai tujuan kekuasaan.
  • Memiliki daya tarik yang besar terhadap masyarakat banyak. Seorang demagog sekaligus adalah orang yang populer di mata publik. Aneka daya tarik bisa saja dimiliki seorang demagog. Daya tarik inilah yang sesungguhnya membuat publik memercayai seorang demagog. Publik tidak lagi kritis akan variabel ideosinkretik yang melekat di dalam diri demagog. Publik hanya memercayai apa dan bagaimana performance seorang demagog secara aktual.
  • Jika negarawan secara tulus peduli akan keadilan dan kebaikan umum, maka Demagog sekadar berpura-pura peduli dalam rangka memeroleh jabatan, yang begitu ia mendapatkannya, tanpa ragu ia akan mengkhianatinya. Hal ini sesuai dengan karakteristik seorang demagog, bahwa ia hanya ingin berkuasa. Setelah ia berkuasa, segala hal yang ia janjikan di masa-masa sebelumnya akan direnegosiasi ulang.

Karakteristik Politisi biasa adalah:
  • Tidak punya visi dan bakat yang cemerlang. Seorang politisi biasa tampak kurang bersinar. Ia hanya berada di "sekeliling" tanpa pernah menjadi pusat pengambilan arah suatu masyarakat. Visi yang ia miliki terlampau umum, kurang greget, "biasa", dan terkesan asal ambil. Bakat yang ia miliki mungkin alami atau "karbitan", tetapi publik memandangnya sebagai "datar", "umum", dan "kurang menarik."
  • Hidup cuma day-to-day, dengan upaya untuk mengatasi tekanan dan hambatan yang dialami dalam keseharian. Politisi biasa tidak hidup untuk long-term melainkan short-term. Ia hanya dipusingkan urusan bagaimana agar ia tetap bercokol di lingkaran kekuasaan. Ia tidak terlalu pusing apabila disebut tidak melakukan apa-apa di dalam jabatannya. Ia baru merasa pusing apabila menghadapi kemungkinan akan tidak dipakai kembali di masa mendatang.
  • Kendati ingin berbuat sesuatu yang baik, mereka selalu kesulitan menjaga isu-isu moral dan etika secara tegas. Politisi biasa janganlah diharapkan untuk bicara masalah moral ataupun etika. Masalah moral dan etika bukanlah prioritas di dalam jabatannya. Kerapkali memang, politisi biasa ingin berbuat sesuatu yang baik. Namun, kerap pula keinginan tersebut dibatasi oleh keinginannya untuk menyenangkan seluruh pihak. Ia ingin diterima oleh semua pihak dan moral serta etika kerap menjadi korban dari kehendaknya tersebut.
  • Mereka sulit mengatasi risiko politik. Karena itulah, mereka memosisikan diri mereka di titik aman. Ia berusaha netral bahkan di saat ia ada dalam posisi terjepit untuk memilih. Pilihan barulah ia buat apabila ada keyakinan bahwa pilihan tersebut membawanya ke titik aman lainnya. Bagi politisi biasa, perjuangan untuk tetap di pusaran kekuasaan adalah lebih penting ketimbang ia menunjukkan posisi dirinya yang asli.
  • Kendati mereka ini umumnya tidak korup, tetapi sesungguhnya mereka mudah sekali untuk disuap. Karena mereka enggan menanggulangi risiko politik, mereka menerapkan image tidak korup. Dan, ketidakkorupan ini bukanlah sesuatu yang mutlak kita tidak harus percaya. Sayangnya, mereka justru membuka diri untuk disuap. Kesediaan disuap ini tegas dilatarbelakangi oleh kehendak mereka untuk menyari aman. Toh, bukan saya yang meminta tetapi mereka.
  • Mereka ini tidak lebih baik atau lebih buruk dari manusia lainnya. Bedanya, mereka punya posisi untuk melakukan hal-hal buruk (ataupun baik) dengan dampak lebih besar. Secara umum, mereka sulit dibedakan dengan warganegara lain pada umumnya. Mereka terlampau biasa, sehingga perilaku yang mereka tunjukkan di layar kaca atau media massa sama persis dengan perilaku kita, keluarga kita, ataupun teman kita. Bedanya, kita, keluarga kita, ataupun teman kita tidak punya kuasa untuk membuat kebijakan umum. Para politisi biasa ini bisa.

Karakteristik Citizen-Leader adalah:
  • Punya pengabdian unik atas masyarakat. Mereka ini, dalam waktu lama, aktif memimpin suatu segmen dalam masyarakat dalam memerjuangkan keyakinan dan posisi mereka di dalam kepolitikan suatu negara. Mereka nyaris tidak lagi memiliki kehidupan privasi karena hampir di setiap saat, mereka harus bergerak, bekerja, dan mengatasi permasalahan segmen masyarakat yang mereka wakili. Mereka inilah yang kerap berhadapan dengan kuasa-kuasa formal, bersitegang, dan menerima sanksi atas keyakinan pengabdiannya. Sulit untuk meminta sesuatu yang sifatnya formalitas pada mereka karena kuasa negara yang formal itu pun dalam anggapan mereka sudah bersifat informal.
  • Punya magnet personal di dalam dirinya. Seorang citizen-leader diyakini memiliki daya tarik yang luar biasa di dalam diri mereka. Magnet inilah yang membuat para pengikutnya bahkan rela memberikan loyalitas mereka kepada dirinya. Daya tarik ini dapat merupakan perpaduan unik antara berkah dari Yang Mahakuasa dengan bakat-bakat kepimpimpinan yang ia miliki.
  • Keberaniannya di atas rata-rata, sehingga menarik orang-orang untuk menjadi pengikutnya. Dare to be different adalah pasti kualitas yang ada di dalam diri seorang citizen-leader. Keberanian yang ia miliki jauh di atas rata-rata orang di sekelilingnya. Keberanian yang ia miliki menular kepada para pengikutnya sehingga perjuangan yang ia bawakan memiliki stamina cukup untuk durasi panjang.


----------

[1] Thomas M. Magstadt, Understanding Politics: Ideas, Institutions, and Issues (Belmont: Wadsworth, 2010) p.307.

http://setabasri01.blogspot.com/2014/05/model-model-kepemimpinan-politik.html

Sistem Kepartaian dan Partai Politik

Sistem kepartaian dan partai politik merupakan 2 konsep berbeda. Sistem kepartaian menunjukkan format keberadaan antar partai politik dalam sebuah sistem politik spesifik. Disebut sebagai spesifik, oleh sebab sistem politik berbeda-beda di setiap negara atau di satu negara pun berbeda-beda dilihat dari aspek sejarahnya. Sistem politik yang dikenal hingga kini adalah Demokrasi Liberal, Kediktatoran Militer, Komunis, dan Otoritarian Kontemporer.

Demokrasi Liberal adalah sistem politik yang melakukan pembebasan warganegara untuk berorganisasi, mendirikan partai politik, mengemukakan pendapat dan sejenisnya. Dalam Demokrasi Liberal, partai politik dapat berkembang secara alami, bergabung antara satu partai dengan partai lain secara sukarela, dan bebas melakukan oposisi terhadap kebijakan pemerintah. Demokrasi Liberal kini dianut di negara-negara seperti Indonesia, Swedia, Inggris, Amerika Serikat, Filipina, dan lain-lain.

Komunis adalah sistem politik tertutup, di mana kebebasan berorganisasi, termasuk mendirikan partai politik tidak ada. Di dalam sistem politik komunis, biasanya hanya ada 1 partai yang legal berdiri dan memerintah, yaitu Partai Komunis. Partai identik dengan pemerintah. Partai-partai lain ditiadakan dan jika pun terlanjur berdiri, akan dibubarkan. Negara-negara yang masih menganut sistem politik komunis ini adalah Vietnam, Kuba, Korea Utara, dan Cina. Di negara-negara tersebut, Partai Komunis adalah satu-satunya partai yang berkuasa dan boleh berdiri.

Otoritarian Kontemporer adalah sistem politik dalam mana personalitas pemerintah (presiden dan pendukungnya) sangat besar. Dalam Otoritarian Kontemporer, biasanya ada satu partai dominan dan beberapa partai “figuran.” Pemerintah mengontrol keberadaan partai-partai politik dan mengintervensi jika terdapat masalah dalam struktur internal partai. Indonesia di masa Orde Baru mencirikan hal ini, di mana Golkar menjadi partai dominan, sementara PPP dan PDI selaku partai “figurannya.” Negara lain yang memberlakukan sistem ini adalah Singapura dan Malaysia.

Kediktatoran Militer adalah pemerintahan yang dikuasai sebuah faksi militer. Kediktatoran Militer biasanya muncul ketika militer menilai politisi sipil tidak mampu menyelesaikan masalah yang telah berlarut-larut. Militer (salah satu faksinya) kemudian melakukan kudeta dan langsung memerintah tanpa memperhatikan partai-partai politik yang ada. Pemerintahan yang muncul ini menyerupai “darurat perang”, sehingga mustahil partai politik dapat beraktivitas secara leluasa. Myanmar dan Pakistan di bawah Jenderal Musharraf adalah contoh dari kediktatoran militer ini.

Sistem Kepartaian

Sistem kepartaian adalah “pola kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil, yang selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara.” Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung pada kemajemukan suku, agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai politik. Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut mempengaruhi sistem kepartaian yang ada.

Sistem kepartaian belumlah menjadi seni politik yang mapan. Artinya, tata cara melakukan klasifikasi sistem kepartaian belum disepakati oleh para peneliti ilmu politik. Namun, yang paling mudah dan paling banyak dilakukan peneliti adalah menurut jumlah partai yang berkompetisi dalam sistem politik. Peter Mair memuatnya dalam tabel berikut:


Dari tabel di atas, kelihatan beberapa cara melakukan klasifikasi sistem kepartaian. Maurice Duverger melakukannya menurut jumlah partai, Robert Dahl menurut skala kompetisi yang opositif, Blondel melakukan menurut ukuran jumlah dan besar partai secara relatif, Rokkan menurut jumlah partai, kadang-kadang satu partai mayoritas, dan distribusi kekuatan partai-partai minoritas, dan Giovani Sartori menurut jumlah partai dan jarak ideologi antar partai-partai tersebut.

Mair sendiri cenderung menyebut klasifikasi Giovani Sartori sebagai yang paling dekat untuk digunakan. Alasannya, pertama, klasifikasi Sartori bersifat paling komprehensif dan bisa diterapkan pada kasus-kasus empiris (nyata). Kedua, ia bisa diterapkan di negara-negara dengan jumlah dan sistem kepartaian berbeda. Misalnya Amerika Serikat yang sistem 2 partai, India yang satu partai berkuasa (Kongres), Malaysia yang satu partai berkuasa (UMNO), Jepang yang satu partai berkuasa (Liberal Demokrat). Ketiga, klasifikasi tersebut tetap memperhatikan pola-pola kompetisi dan interaksi antar partai dan cocok dengan pengertian sistem kepartaian itu sendiri. Keempat, ia mengkaitkan antara perilaku pemilih dengan hasil pemilihan.

Sistem 2 Partai menurut Sartori adalah sistem kepartaian yang ditandai dengan format terbatas dan jarak ideologi yang tidak terlalu jauh. Misalnya terjadi di Inggris, di mana meskipun banyak partai berdiri, tetapi hanya 2 partai yang eksis di setiap Pemilu, yaitu Partai Buruh dan Partai Konservatif. Hal ini juga terjadi di Amerika Serikat, di mana Partai Republik dan Partai Demokrat yang hadir di setiap Pemilu, untuk kemudia memegang kendali pemerintahan.

Pluralisme Moderat adalah sistem kepartaian yang ditandai dengan pluralisme terbatas dan jaran ideologi antarpartai yang tidak terlampau jauh. Ini terjadi di Denmark.

Pluralisme Terpolarisasi adalah sistem kepartaian yang ditandai dengan pluralisme ekstrim dan besarnya jarak ideologi antar partai. Ini terjadi di Italia selama tahun 1970-an dan Chili sebelum kudeta tahun 1973).

Partai Berkuasa adalah sistem kepartaian yang ditandai dengan adanya 1 partai yang selalu memenangi kursi di Parlemen. Seperti telah disebut, ini terjadi di Malaysia, India, dan Jepang. Partai yang ikut pemilu tetap banyak, akan tetapi yang menang adalah partai yang “itu-itu” saja.

Partai Politik

Partai politik adalah organisasi yang beroperasi dalam sistem politik. Partai politik memiliki sejarah panjang dalam hal promosi ide-ide politik dari level masyarakat ke level negara. Namun, sebelum dilakukan pembicaraan lebih lanjut, perlu kiranya diberikan definisi mengenai partai politik yang digunakan dalam tulisan ini.

Sebuah definisi klasik mengenai partai politik diajukan oleh Edmund Burke tahun 1839 dalam tulisannya "Thoughts on the cause of the present discontents’. Burke menyatakan bahwa “party is a body of men united, for promoting by their joint endeavors the national interest, upon some particular principle upon which they are all agreed" [partai politik adalah lembaga yang terdiri atas orang-orang yang bersatu, untuk mempromosikan kepentingan nasional secara bersama-sama, berdasarkan pada prinsip-prinsip dan hal-hal yang mereka setujui]. Definisi Burke ini tampak masih “abstrak” oleh sebab tidak semua partai secara empiris memperjuangan kepentingan nasional. Ini tampak misalnya dalam tulisan Robert Michels tentang The Iron Law of Oligarchy (Hukum Besi Oligarki).

Robert Michels menyatakan bahwa partai politik, sebagai sebuah entitas politik, sebagai sebuah mekanisme, tidak secara otomatis mengindetifikasi dirinya dengan kepentingan para anggotanya juga kelas sosial yang mereka wakili. Partai sengaja dibentuk sebagai alat untuk mengamankan tujuan. Juga menjadi bagian dari tujuan itu sendiri, memiliki tujuan dan kepentingan di dalam dirinya sendiri. Dalam sebuah partai, kepentingan massa pemilih yang telah membentuk partai kerap kali terlupakan oleh sebab terhalangi oleh kepentingan birokrasi yang dijalankan pemimpin-pemimpinnya.

Definisi lain mengenai partai politik diajukan oleh Joseph Schumpeter tahun 1976 dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy. Menurutnya, partai politik adalah “… is a group whose members propose to act in concert in the competitive struggle for power…. Party and machine politicians are simply the response to the fact that the electoral mass is incapable of action other than in a stampede, and they constitute an attempt to regulate political competition exactly similar to the corresponding practice of a trade association. [… adalah kelompok yang anggotanya bertindak terutama dalam hal perjuangan mencapai kekuasaan … Partai dan para politisinya merupakan contoh sederhana bagi tanggapan atas ketidakmampuan massa pemilih untuk bertindak selain dari ketidakrapian organisasinya, dan mereka secara nyata berusaha mengatur kompetisi politik layaknya praktek yang sama yang dilakukan oleh asosiasi perdagangan].

Definisi Schumpeter ini cukup sinis, dengan menyatakan bahwa partai politik bisa berperan oleh sebab para pemilih (warganegara) sendiri tidak terorganisasi secara baik untuk memenuhi kepentingannya di dalam negara. Schumpeter juga menganggap partai politik adalah sama seperti pedagang, di mana komoditas yang diperjualbelikan adalah isu politik yang dibayar dengan pemberian suara oleh para pemilih.

Joseph Lapalombara dan Jeffrey Anderson pun memberikan definisi mereka tentang partai politik. Menurut Lapalombara dan Anderson, partai politik adalah:

 “… any political group, in possession of an official label and of a formal organization that links centre and locality, that presents at elections, and is capable of placing through elections (free or non-free), candidates for public office. [… setiap kelompok politik, yang memiliki label dan organisasi resmi yang menghubungkan antara pusat kekuasaan dengan lokalitas, yang hadir saat pemilihan umum, dan memiliki kemampuan untuk menempatkan kandidat pejabat publik melalui kegiatan pemilihan umum (baik bebas maupun tidak bebas].

Definisi Lapalombara dan Anderson ini membatasi partai politik sebagai organisasi resmi, diakui pemerintah, dan ikut pemilihan umum. Partai politik adalah penghubung antara pusat kekuasaan dengan lokalitas (warganegara yang tersebar di aneka wilayah, agama, ideologi, dan sejenisnya). Partai politik berfungsi untuk menempatkan orang-orang (kandidat) bagi sebuah jabatan publik.

Dari definisi yang cukup bervariasi ini, dapat ditarik suatu simpulan bahwa partai politik adalah organisasi politik yang bersifat resmi, yang bertujuan memenuhi kepentingan para pemilihnya dengan cara menguasasi pemerintahan dan menempatkan anggota-anggota mereka melalui mekanisme Pemilihan Umum. Definisi ini tentu saja terlampau sederhana akan tetapi akan dipakai di dalam tulisan ini.

Fungsi Partai Politik

Fungsi partai politik di setiap negara demokrasi cukup penting. Terutama, ini dikaitkan dengan fungsi perwakilan kepentingan elemen masyarakat yang mereka bawakan: Partai politik menerjemahkan kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam kebijakan pemerintah.

Aneka penulis telah mengkaji fungsi partai politik. Salah satunya adalah David McKay. Dalam kajiannya atas partai-partai politik di Amerika Serikat, ia pun berkesimpulan bahwa partai politik memiliki fungsi:

  1. Agregasi kepentingan – fungsi ini adalah posisi partai sebagai alat untuk mempromosikan serta mempertahankan kepentingan dari kelompok-kelompok sosial yang ada.
  2. Memperdamaikan kelompok dalam masyarakat – fungsi ini adalah posisi partai politik untuk membantu memperdamaikan aneka kepentingan yang saling bersaing dan berkonflik dari masyarakat, dengan menyediakan platform penyelesaian yang seragam dan disepakati bersama.
  3. Staffing government – fungsi ini adalah posisi partai politik untuk mengajukan orang-orang yang akan menjadi pejabat publik, baik baru maupun menggantikan yang lama.
  4. Mengkoordinasi lembaga-lembaga pemerintah – fungsi ini adalah posisi partai politik mengkoordinasi aneka lembaga pemerintah yang saling berbeda untuk tetap memperhatikan kepentingan politik publik.
  5. Mempromosikan stabilitas politik – fungsi ini adalah fungsi partai politik untuk mempromosikan stabilitas politik, misalnya dengan mengelola isu-isu yang dibawakan kelompok ekstrim nonpartai ke dalam parlemen untuk dicarikan titik temunya.

Penulis lain, misalnya Janos Simon membagi fungsi partai politik menjadi 6, yaitu : (1) Fungsi sosialisasi politik; (2) fungsi mobilisasi politik; (3) fungsi representasi politik; (4) fungsi partisipasi politik; (5) fungsi legitimasi sistem politik, dan (6) fungsi aktivitas dalam sistem politik.

Fungsi sosialisasi politik mulai signifikan ketika seseorang sudah mampu menilai keputusan dan tindakannya. Orang tersebut kemudia mencari “figur” yang dianggap mewakili norma-norma dan nilai-nilai yang dianutnya. Salah satu lembaga yang menyediakan nilai tersebut adalah partai politik. Sebab itu, partai politik berfungsi sebagai agen guna mengisi norma-norma dan nilai-nilai yang ada pada diri individu. Peran ini semakin besar di negara-negara dengan sistem kepartaian multipartai.

Fungsi mobilisasi adalah fungsi partai politik untuk membawa warganegara ke dalam kehidupan publik. Tujuan dari mobilisasi ini adalah : Mengurangi ketegangan sosial yang ditampakkan oleh kelompok-kelompok yang termobilisasi; Mengelaborasi program-program untuk menurunkan ketegangan tersebut, dan sebagai hasilnya kelompok-kelompok tersebut mengalihkan dukungannya kepada partai politik, dan; Membangun struktur kelompok yang akan menjadi basis pendukung partai yang bersangkutan.

Fungsi partisipasi adalah fungsi partai politik untuk membawa warganegara agar aktif dalam kegiatan politik. Jenis partisipasi politik yang ditawarkan partai politik kepada warganegara adalah kegiatan kampanye, mencari dana bagi partai, memilih pemimpin, demonstrasi, dan debat politik.

Fungsi legitimasi mengacu pada kebijakan partai politik mendukung dan mempercayai kebijakan pemerintah maupun eksistensi sistem politik. Seperti diketahui, partai politik memiliki massa pemilih. Jika partai memilih untuk mendukung sesuatu, maka kemungkinan besar pemilihnya akan melakukan hal yang sama.

Fungsi representasi adalah fungsi klasik partai politik. Partai politik yang ikut pemilihan umum dan memenangkan sejumlah suara, akan menempatkan wakilnya di dalam parlemen. Anggota partai yang masuk ke dalam parlemen ini membawa fungsi representasi dari warganegara yang memilih partai tersebut.

Fungsi aktivitas dalam sistem politik didasarkan pada premis, partai politik menjabarkan programnya dan menyiapkan anggota-anggotanya untuk menjalankan program tersebut. Jika partai tersebut mengantungi suara dalam pemilu, maka anggota-anggotanya tersebut akan masuk ke dalam parlemen. Anggota partai yang bersangkutan tersebut kemudian beraktivitas (secara politik) untuk menjalankan program-program partai. Aktivitas pemerintahan (khususnya parlemen) menjadi berjalan akibat adanya partai politik tersebut.

Tipe Partai Politik

Tipe-tipe partai politik dari para ahli cukup banyak, dan ini cukup membingungkan. Namun, aneka klasifikasi tipe partai politik tersebut diakibatkan sejumlah sudut pandang. Misalnya, ada yang mengkaitkan dengan kesejarahan, hubungan sosial, berakhirnya perang ideologi, dan sebagainya.

Tulisan ini sengaja akan memuat sejumlah pandangan para ahli ilmu politik mengenai klasifikasi partai politik. Salah satu yang melakukannya adalah Richard S. Katz. Katz membagi tipe partai politik menjadi 4 tipe, yaitu:

  1. Partai Elit – Partai jenis ini berbasis lokal, dengan sejumlah elit inti yang menjadi basis kekuatan partai. Dukungan bagi partai elit ini bersumber pada hubungan client (anak buah) dari elit-elit yang duduk di partai ini. Biasanya, elit yang duduk di kepemimpinan partai memiliki status ekonomi dan jabatan yang terpandang. Partai ini juga didasarkan pada pemimpin-pemimpin faksi dan elit politik, yang biasanya terbentuk di dalam parlemen.
  2. Partai Massa – Partai jenis ini berbasiskan individu-individu yang jumlahnya besar, tetapi kerap tesingkirkan dari kebijakan negara. Partai ini kerap memobilisasi massa pendukungnya untuk kepentingan partai. Biasanya, partai massa berbasiskan kelas sosial tertentu, seperti “orang kecil”, tetapi juga bisa berbasis agama. Loyalitas kepada partai lebih didasarkan pada identitas sosial partai ketimbang ideologi atau kebijakan.
  3. Partai Catch-All – Partai jenis ini di permukaan hampir serupa dengan Partai Massa. Namun, berbeda dengan partai massa yang mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu, Partai Catch-All mulai berpikir bahwa dirinya mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan. Partai jenis ini berorientasi pada pemenangan Pemilu sehingga fleksibel untuk berganti-ganti isu di setiap kampanye. Partai Catch-All juga sering disebut sebagai Partai Electoral-Professional atau Partai Rational-Efficient.
  4. Partai Kartel - Partai jenis ini muncul akibat berkurangnya jumlah pemilih atau anggota partai. Kekurangan ini berakibat pada suara mereka di tingkat parlemen. Untuk mengatasi hal tersebut, pimpinan-pimpinan partai saling berkoalisi untuk memperoleh kekuatan yang cukup untuk bertahan. Dari sisi Partai Kartel, ideologi, janji pemilu, basis pemilih hampir sudah tidak memiliki arti lagi.
  5. Partai Integratif - Partai jenis berasal dari kelompok sosial tertentu yang mencoba untuk melakukan mobilisasi politik dan kegiatan partai. Mereka membawakan kepentingan spesifik suatu kelompok. Mereka juga berusaha membangun simpati dari setiap pemilih, dan membuat mereka menjadi anggota partai. Sumber utama keuangan mereka adalah dari iuran anggota dan dukungan simpatisannya. Mereka melakukan propaganda yang dilakukan anggota secara sukarela, berpartisipasi dalam bantuan-bantuan sosial.
------------------------
Referensi
  1. David McKay, American Politics and Society, 6th Edition, (Malden: Blackwell Publishing, 2005) p.80-4.
  2. Janos Simon, The Change of Function of Political Parties at the Turn of Millenium, (Barcelona: Institut de Ciències Polítiques i Socials, 2005)
  3. Joseph Lapalombara and Jeffrey Anderson, Political Parties dalam Mary Hawkesworth and Maurice Kogan, Encyclopedia of Government and Politics, Volume 1, (New York: Routledge, 1992) p. 393-412.
  4. Peter Mair, Party Systems and Structures of Competition, dalam Lawrence LeDuc, ed., et.al., Comparing Democracies: Elections and Voting in Global Perspective, (California: Sage Publications, 1996) p.93-106.
  5. Pippa Norris, Building Political Parties: Reforming legal regulations and internal rules, Report for International IDEA, Januari 5, 2005
    Richard S. Katz, “Party Organizations and Finance”, dalam Lawrence LeDuc, ed., et.al., op.cit., p.107-33.
  6. Robert Michels, “The Iron Law of Oligarchy”, dalam Bernard E. Brown and Roy C. Macridis, Comparative Politics: Notes and Readings, 8th Edition, (California: Wadsworth Publishing Company, 1996) p.244-9.
tags:
sistem kepartaian, teori partai politik, tipe sistem politik, pengertian demokrasi liberal, pengertian otoritarian kontemporer, sistem kepartaian giovani sartori, sistem pluralisme terpolarisasi, sistem pluralisme moderat, sistem satu partai berkuasa, sistem dua partai, teori teori partai politik, partai politik robert michels, partai politik menurut joseph schumpeter, fungsi fungsi partai politik, partai catch all, partai kartel, partai massa, partai elit, partai integratif, partai elit, seta basri, stia sandikta, artikel pengantar ilmu politik pengertian sistem kepartaian jenis kepartaian jenis partai politik fungsi partai politik definisi partai politik partai kartel massa kader partai elit