Pengertian Budak
Dalam (kamus) bahasa Indonesia, budak berarti anak, kanak-kanak; abdi,
hamba; dan orang gajian[i]. Dalam (kamus) bahasa Inggris, terdapat dua
istilah yang sering diartikan sebagai budak, yaitu servant dan slave.
Servant berarti pelayan, pembantu; orang yang mengabdi pada seseorang
atau sesuatu[ii]. Dari sinilah istilah civil servant, yang dalam bahasa
Indonesia diartikan dengan pegawai negeri. Dan slave berarti budak,
pekerja keras, atau orang yang dipengaruhi oleh kebiasaan[iii].
Menurut Hamka budak berarti seseorang yang tidak merdeka. Dia menjadi
milik tuannya sebagaimana seseorang memiliki sebuah barang. Budak boleh
dijual, dihadiahkan atau dijadikan sebagai istri. Anak hasil hubungan
seorang tuan dengan budaknya adalah sah hukumnya[iv]. Dengan demikian,
budak menjadi milik tuannya semata-mata[v].
Secara hukum, budak
merupakan orang yang setengah manusia (merdeka). Di satu sisi dia
merupakan manusia yang normal dan di sisi lain dia adalah harta atau
benda yang sepenuhnya dimiliki oleh tuannya dan dapat diperjualbelikan
jika sang tuan menghendakinya. Budak tidak bisa berbuat sesuatu sesuai
dengan keinginannya. Dia harus berfikir dan berbuat sesuai dan untuk
kepentingan tuannya.
Dalam pengertian umum yang berlaku diluar
Islam, budak dapat diartikan sebagai manusia-manusia sangat malang dalam
hidupnya. Karakteristik kehidupan mereka dapat digambarkan sebagai
berikut:
Pertama, budak berasal atau didapatkan dari peperangan,
pembelian, penculikan, penangkapan, dan keturunan (anak dari seorang
budak). Kisah yang dialami Zaid bin Haritsah misalnya, adalah contoh
dari sebuah penangkapan. Zaid ketika masih kecil, dibawa oleh ibunya ke
kampung bani Ma’na. tidak berapa lama kemudain daerah tersebut dirampok
oleh sekelompok badui dan menangkapi wanita dan anak-anaknya yang tidak
sempat melarikan diri, termasuk Zaid bin Haritsah yang ditinggalkan
ibunya. Zaid kecil tersebut kemudian dibawa ke pasar budak, ‘ukadz,
untuk dijual[vi].
Kedua, budak merupakan manusia yang dimatikan
keinginan, rasa, pikiran, dan cita-citanya. Dia tidak boleh berkeinginan
dan bercita-cita diluar batasan hidup yang ditetapkan tuannya. Budak
tidak perlu merasa jijik, letih, penasaran, sedih, enggan, dan menolak
segala tugas yang diberikan sang tuan. Baginya tidak ada alternatif lain
kecuali mengikuti orang yang mempunyainya. Budak juga tidak udah
berpikiran diluar batas tugasnya. Jika sang tuan menyuruh bekerja di
ladang, dia tidak perlu memikirkan tentang hasil kerjanya, bagaimana
mengolah dan kemana dijual. Tugasnya adalah bekerja, maka segenap
pikiran, perasaan, dan tenaganya harus terpusat pada pekerjaan itu,
bukan untuk yang lain.
Ketiga, budak dimiliki oleh tuannya.
Perlakuan tuan terhadap budaknya sama dengan perlakuan seseorang
terhadap hewan atau barang. Dia bisa dipekerjakan tanpa gaji, bahkan
hanya diberi makan, pakaian, dan tempat tinggal sekedarnya. Seperti
halnya Bilal bin Rabah sebelum Islam yang hanya mendapatkan dua genggam
kurma dari menggembala unta dan domba[vii].
Budak juga bisa
diterlantarkan, dijual, dibuang, dihadiahkan, dianiaya, dan dibunuh.
Kalau dia wanita, kalau sang tuan mau, dia bisa digauli tanpa harus
dinikahi. Al-Qur’an (an-Nahl:75) mengistilahkan nasib budak ini dengan
“abdan mamlukan laa yaqdiru ‘ala syai’” (seseorang yang benar-benar
dikuasai oleh orang lain sehingga tidak bisa berbuat apa-apa, termasuk
pada dirinya sendiri).
Pada zaman Romawi kuno, budak tidak hanya
disuruh bekerja di ladang atau lahan produktif lainnya. Akan tetapi,
disamping pekerjaan rutin itu, mereka disuruh “menghibur” tuan-tuan
mereka dengan mempertaruhkan nyawanya. Budak-budak dijadikan tontonan
dengan jalan mengadu sesama mereka dalam satu perkelahian hidup mati.
Mereka saling membunuh untuk mempertahankan kehidupan masing-masing.
Keringat bercucuran, darah mengalir, dan mereka menggelepar-gelepar
seperti ayam yang menyambut kematian, merupakan hiburan yang sangat
menyenangkan bagi tuan-tuan mereka[viii].
Keempat, budak bisa
mendapatkan kemerdekaannya dengan jalan melarikan diri, membayar tebusan
kepada tuan dengan harga yang ditentukan, atau dibuang oleh tuannya
karena tidak bisa dimanfaatkan lagi. Melarikan diri merupakan jalan
termungkin, sekaligus sangat berbahaya bagi budak untuk merdeka. Mereka
yang dipekerjakan di ladang misalnya, diawasi secara ketat oleh
pengawal-pengawal yang kejam.
Hanya budak-budak yang kuat dan
nekat saja yang berani menempuh jalan ini. Membayar tebusan merupakan
sesuatu yang jauh dari mungkin, jika tidak dapat disebut mustahil, bagi
para budak. Dia tidak mungkin mendapatkan harta untuk membayar dirinya.
Cara ini terlaksana jika ada keluarga, famili, kaum, atau orang lain
yang bermurah hati menebusnya.
Dalam bahasa yang ringkas dapat
dikatakan bahwa seorang budak, dalam pengertian umum, sebagai sebuah
barang atau seekor binatang yang berwujud manusia. Seseorang bisa
memiliki dengan jalan menangkap, mencuri, atau membeli. Setelah
dimiliki, dia bisa diperlakukan apa saja sesuai keinginan orang yang
memilikinya. Dan budak tersebut sangat sulit untuk keluar dan
dikeluarkan dari kubangan perbudakannya, bahkan ada yang bersama anak
cucunya menjadi budak buat selamanya.
Term-Term al-Qur’an tentang Perbudakan
1. ‘Abd dan Ibad ( عبد ، عباد )
Kata ‘abada, ya’budu, ‘ibadat berarti menyembah, mengabdi, atau
menghinakan diri. Dan kata ‘abd (jamaknya ‘abid atau ibad) berarti
hamba, sahaya, penyembah sesuatu, atau budak; sejenis tumbuh-tumbuhan
yang beraroma harum; anak panah[ix]. ‘Abd bisa berarti manusia secara
umum apakah dia merdeka atau budak. Kata ini juga bisa diartikan dengan
budak saja. Akan tetapi, menurut Sibawaih, makna asal dari ‘abd itu
adalah budak[x].
Dalam kamus Arabic-English Dictionary, kata
kerja ‘abada, bisa berarti melayani (to serve), menyembah (to worship)
kepada tuhan atau memuji (to adore) kepada Tuhan atau manusia, dan
memuliakan (to renerate), mendewakan (to idolize, to deify). Kata ini
juga berarti memperbudak (to enslave), memikat atau mempesonakan
(entrall), menundukkan (to subjugate, to subject). ‘Abada juga bisa
dipakai dengan arti memperbaiki (to improve), mengembangkan (to
develop), membuat bisa melayani (to make passable for traffic), juga
menyediakan diri orang untuk mengabdi kepada Tuhan, atau melayani orang
lain[xi]. Sebagai kata benda, ‘abd berarti budak (slave, serf), yaitu
orang-orang yang terbelenggu atau menjadi pelayan. Ia juga berarti hamba
Tuhan.
Al-Qur’an menyebutkan kata yang berakar dari ‘a-b-d (ع ب د
) sebanyak 275 kali, dengan perincian: ‘abada 4 kali, ya’budu 80 kali,
u’bud 37 kali, yu’badu satu kali, ‘abbada satu kali, al-’abd 29 kali,
‘ibad 97 kali, ‘abiid 5 kali, ‘aabid 12 kali, dan ‘ibadat 9 kali[xii].
Dari banyak ayat yang menggunakan akar kata ‘a-b-d itu, hanya terdapat
lima tempat saja (2:178, 16:75, 24:32, 26:22, 44:18) yang bermakna budak
dengan pengertian seorang manusia yang menjadi hamba bagi manusia
lainnya, sedangkan yang lainnya bermakna seorang manusia yang menjadi
hamba Allah.
Dari lima tempat dalam al-Qur’an yang menggunakan
kata ini dengan makna budak dapat dikatakan bahwa al-Qur’an berusaha
menggunakan kata ini dalam konteks pembicaraan yang lebih manusiawi.
Terminologi ‘abd dalam pemahaman masyarakat Arab jahiliyah memiliki
konotasi negatif dan terkesan sangat merendahkan, karena kata ini
menyiratkan makna bahwa seseorang itu sepenuhnya dimiliki oleh tuannya.
Kemanusiaan seorang budak menjadi lenyap ketika dia disebut ‘abd.
Keadaan ‘ibad tersebut persis sebagaimana nasib budak yang digambarkan
dalam pengertian umum di atas. Mereka adalah hewan atau barang yang
berwujud manusia.
Al-Qur’an sendiri mencoba mengilustrasikan nasib mereka secara jelas dengan firmannya:
ضَرَبَ الله مَثَلًا عَبْدًا مَمْلُوْكًا لَا يَقْدِرُ عَلَى شَئْ ٍوَمَنْ
رَزَقْنَاهُ مِنَّا رِزْقًا حَسَنًا فَهُوَ يُنْفِقُ مِنْهُ سِرًّا
وَجَهْرًا هَلْ يَسْتَوُوْنَ الحَمْدَ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا
يَعْلَمُوْنَ (النحل : 75)
Dan Allah membuat perumpamaan dengan
seorang budak yang dimiliki, yang tidak dapat bertindak terhadap
sesuatupun dan seorang yang kami rizki dengan baik dari kami. Lalu dia
menafkahkan sebagian dari rizki itu secara sembunyi dan terang-terangan.
Adakah mereka itu sama? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan
mereka tidak mengetahui. (QS. Al-Nahl : 75)
Dalam ayat ini, Allah
mengibaratkan mereka sebagai sembahan selain Allah, yang tidak bisa
berbuat apa-apa, sekalipun untuk dirinya sendiri[xiii]. Selain ayat
tersebut, penggunaan kata ‘abd lainnya dalam al-Qur’an selalu dikaitkan
dengan hak seorang budak. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa, sekalipun
orang-orang yang dimiliki itu adalah budak, namun mereka juga memiliki
hak-hak tertentu seperti orang merdeka. Al-Qur’an tetap menjunjung
tinggi keberadaan mereka sebagai manusia, sebagaimana orang merdeka.
Jika orang merdeka butuh perlakuan adil, maka budakpun demikian juga.
Maka, apabila seorang budak dibunuh oleh budak lainnya, maka pembunuh
itu juga wajib di-qishash (kutiba ‘alaikum la-qishash fi al-qatla …… wa
al-’abd bi al-’abd) kamu wajib melaksanakan qishash dalam kasus
pembunuhan …….. dan seorang budak yang membunuh budak lainnya wajib
di-qishash[xiv]. Mereka juga manusia biasa yang butuh keluarga dan
pasangan hidup. Maka menjadi kewajiban umat Islam secara umum dan
tuannya secara khusus untuk mencarikan pasangan hidup jika mereka sudah
patut menikah (wa inkihu al-ayama minkum wa al-shalihin min ‘ibadikum wa
ima’ikum) dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan
para hamba sahaya di kalangan kamu yang telah pantas untuk menikah[xv].
Untuk menghapuskan pandangan negatif kepada manusia yang berstatus
budak itu Rasulullah keberatan jika mereka disebut ‘abd. Beliau menyuruh
umat Islam mengganti panggilan itu dengan maa malakat ayman (apa yang
dimiliki oleh tangan kanan) dan fata (pemuda). Karena kata ‘abd tersebut
hanya pantas disebutkan untuk menggambarkan keberadaan manusia terhadap
Allah saja.
Jadi, al-Qur’an tetap mengakui bahwa budak merupakan
milik tuannya. Namun al-Qur’an memberikan catatan bahwa kepemilikan
itu tidak mutlak seperti zaman sebelumnya. Budak harus mendapatkan
pengakuan terhadap kemanusiaannya, dan karena itu mereka juga berhak
terhadap perlakuan-perlakuan baik sebagaimana manusia lainnya. Seseorang
tidak boleh memanggil, apalagi menganggap bahwa budak yang dimilikinya
itu sama dengan barang atau binatang. Seiring dengan hak tuan terhadap
budaknya, dia juga mempunyai kewajiban tertentu yang harus ditunaikan.
2. Maa Malakat Aymaan (ما ملكت أيمان )
Malaka, yamliku, milkan, mulkan berarti memiliki atau mempunyai
sesuatu[xvi]. Sedangkan yamin (jamaknya aymun atau ayman) berarti
sebelah kanan atau tangan kanan[xvii]. Kata maa malakat ayman terdapat
14 kali dalam al-Qur’an (al-Nisa: 3, 24, 25, 36 ; al-Mukminun: 6 ;
al-Nur: 31, 33, 58 ; al-Rum: 28; al-Ahzab: 50, 52, 55 ; dan al-ma’arij:
30. disamping itu terdapat dua kali dengan redaksi maa malakat yamin
(al-Ahzab: 50, 52)[xviii].
Ungkapan maa malakat ayman (apa yang
dimiliki oleh tangan kanan) berarti al-raqiq atau budak[xix]. Budak yang
dimaksud adalah budak yang pada mulanya didapatkan dari tawanan perang
atau jihad dalam rangka menegakan agama Islam. Budak tersebut tidak
berasal dari penculikan, perampokan, dan perang yang dilandasi oleh
keserakahan.
Ayat-ayat yang memuat ungkapan maa malakat ayman
tersebut pada umumnya membicarakan persoalan rumah tangga seseorang yang
memiliki budak. Dengan kata lain, ayat-ayat yang menggunakan istilah
maa malakat ayman lebih banyak berbicara tentang bagaimana posisi budak
dalam rumah-tangga tuannya. Aturan-aturan tersebut, dari persoalan besr
sampai pada masalah yang sekecil-kecilnya, sangatlah penting mengingat
kehidupan budak tidfak bisa dilepaskan dari kehidupan tuannya.
Al-Qur’an membolehkan seorang tuan menggauli, sebagaimana layaknya
pergaulan suami-istri, seorang budak perempuan yang dimilikinya
(al-Nisa:3, 24; al-Ahzab: 50, 52). Hal tersebut dapat dilihat dari
ungkapan … fain khiftum allaa ta’dilu fawahidatan aw ma malakat
aymanukum (maka jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil dengan
lebih satu istri, maka nikahlah dengan satu istri saja atau (bergaul)
dengan budak wanita yang kamu miliki). Budak perempuan boleh digauli,
sebagaimana terhadap istri yang halal dipergauli dengan akad nikah[xx].
Jika seseorang belum mampu kawin dengan perempuan merdeka, sedangkan
dia sangat berkeinginan untuk kawin dan takut akan terjerumus kedalam
maksiat, maka dia bisa mencari pasangan hidupnya diantara wanita-wanita
budak muslimah, dengan seizin tuannya. Hal ini seperti dinyatakan wa man
lam yastathi’ minkum thawlan an yankiha al-muhshanat wa al-mu’minat
faminmaa malakat aymanukum min fatayatikum al-mu’minat (maka barangsiapa
tidak sanggup menikah dengan perempuan mukmin, dia bisa menikah dengan
perempuan budak mukmin yang ada diantara kamu)[xxi].
Seorang
muslim dan muslimah diperintahkan secara ketat untuk menjaga kehormatan
(auratnya) kecuali salah satunya, terhadap budaknya (al-mukminun:6,
al-Nur:31, 58; al-ahzab:55; al-ma’arij:30), seperti wa al-ladzinahum
lifurujihim hafidzun illa ‘ala azwajihim aw maa malakat aymanuhum fa
innahum ghayru malumin (dan orang-orang yang memelihara kehormatannya,
kecuali terhadap istri-istri dan budak-budak perempuan mereka, hal itu
tidaklah tercela bagi mereka). Semua ini disebabkan karena, dalam
batas-batas tertentu, budak itu dianggap sebagai keluarga sendiri.
Juga dibicarakan disana bahwa di dalam rizki yang telah diberikan Allah
juga terdapat hak-hak budak yang harus diberikan kepada budak
(al-Nahl:71; al-Rum:28) seperti ayat fa ma alladzina fudhdhilu biraddi
rizqihim ‘ala maa malakat aymanuhum fahum fihi sawa’ (tetapi orang-orang
yang mendapatkan kelebihan rizki tidak mau membagikan kepada
budak-budak yang mereka miliki dari dapat sama-sama menikmatinya).
Seorang tuan harus memberikan peluang kepada budak untuk membuat
perjanjian merdeka dan sang tuan membantunya untuk mencarikan tebusan
yang disepakati. Dikatakan wa alladzina yabtaghuna al-kitab min maa
malakat aymanukum fa katibuhum in ‘alimtum fihim khayran (dan jika
budakmu menginginkan perjanjian untuk merdeka, maka hendaklah kamu
turuti keinginannya, itu seandainya kamu lihat ada kebaikan
disana[xxii]). Dan seorang muslim juga diperintahkan berbuat ihsan
kepada budak sebagaimana pada keluarga sendiri (wa bi al-walidaini
ihsanan … wa maa malakat aymanukum dan hendaklah kamu berbuat baik
kepada kedua orang tuamu … juga hendaklah berbuat baik kepada
budak-budak yang kamu miliki)[xxiii].
Dari ayat-ayat al-Qur’an
tersebut dapat dikatakan bahwa ungkapan maa malakat ayman itu digunakan
untuk menunjukkan kedekatan kehidupan fisik, perasaan dan hubungan
sosial antara budak dengan tuannya. Ungkapan maa malakat ayman juga
mengandung makna bahwa tuan memiliki tanggungjawab yang tidak ringan
terhadap budaknya, karena mereka adalah orang-orang yang dimiliki oleh
tangan kanan. Tuan bertanggungjawab terhadap kebutuhan hidupnya karena
dalam harta tuan juga terdapat hak budak. Tuan tidak boleh menghalangi
budaknya untuk mencapai kesempurnaan hidup. Maka, jika budak ingin
merdeka dengan suatu perjanjian, tuan harus memenuhinya. Bahkan tuan
harus membantu secara materi agarbudak bisa membayar kemerdekaannya
sesuai dengan kesepakatan.
3. Raqabat dan Riqab (رقبة ، رقاب )
raqaba, yarqubu, raqabat, berarti mengintip, melihat atau menjaga.
Raqabat (jamaknya riqab) berarti leher, budak atau hamba. Raqabat,
muraqabat berarti penjagaan, pengawasan. Raqib, muraqib berarti yang
menjaga, pengawas atau pemilik. Ketika menjelaskan ayat-ayat tentang
raqabat ini, para mufassir mengartikannya dengan budak yang harus
dibantu untuk memerdekakannya. Menurut jumhur ulama, budak yang dibantu
memerdekakannya itu adalah budak mukatab atau yang telah membuat
perjanjian merdeka bersama tuannya dengan pembayaran tertentu. Ulama
lain mengatakan bantuan memerdekakan itu bisa jadi dengan membeli budak
untuk dimerdekakan, atau tidak memperbudak tawanan perang, tapi
membebaskannya[xxiv].
Dalam al-Qur’an, istilah raqabat terdapat
di al-nisa:89, 92; al-mujadalah:3, al-Balad:13. riqab terdapat di
al-baqarah:177; al-taubat:60; dan Muhammad:4[xxv]. Ayat-ayat yang
menggunakan kata ini umumnya membicarakan tentang pembebasan seorang
budak dari perbudakannya.
Sejak semula Islam telah mengumumkan
permusuhannya terhadap perbudakan, dengan ungkapan al-Qur’an fakku
raqabat (memerdekakan budak)[xxvi], meskipun diakui bahwa pekerjaan itu
cukup berat (al-’aqabat). Namun mengingat kemaslahatan umat secara lebih
luas, al-Qur’an memandang tidak mungkin penghapusan perbudakan
dilakukan sekaligus. Untuk itulah al-Qur’an memulainya dengan
menganjurkan memerdekakan budak dengan menggolongkan perbuatan itu
kepada birr (kebajikan) sebagaimana iman, shadaqah, jihad dan lainnya
(al-baqarah:177). Dan pada tahap akhir, al-Qur’an memasukkan pemerdekaan
budak sebagai salah satu jalan penyaluran zakat atau shadaqah yang
wajib dikeluarkan (al-taubat:60).
Makna asal dari raqabat adalah
“leher”. Kemudian kata ini diartikan sebagai manusia yang terbelenggu
(terikat lehernya) dengan tali. Kesan yang diperoleh dari istilah diatas
sangat buruk. Ia menggambarkan seseorang yang terikat lehernya seperti
binatang. Kesan buruk serta keadaan sebenarnya yang dialami oleh hamba
sahaya itulah yang ingin dihapuskan oleh al-Qur’an. Karena itu pula
al-Qur’an dan Nabi Muhammad sejak awal Islam memilih untuk tidak
menamakan mereka dengan ‘abd (hamba sahaya), tetapi dengan sebutan maa
malakat aymanukum (apa yang dimiliki oleh tangan kananmu)[xxvii].
4. Amat dan Ima’ ( أمة ، إماء )
Amat (yang berarti budak perempuan) merupakan bentuk tunggal dari ima’.
Kata amat, bentuk asalnya adalah amuwat, yang kemudian dihilangkan
waw-nya[xxviii]. al-amat berarti kebalikan dari seorang perempuan
merdeka, yaitu seorangbudak aau perempuan yang dikuasai (al-mamlukat).
Al-Qur’an hanya dua kali saja menggunakan kata ini. Satu kali dalam
bentuk mufrad (amat) dan satu lagi dalam bentuk jamak (ima’)[xxix].
Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa seorang budak perempuan yang tidak
cantik, tetapi mukminat yang taat, maka dia lebih pantas dikawini oleh
seorang pemuda muslim daripada wanita merdeka, cantik, tapi musyrik (wa
laa tankihu al-musyrikat hatta yu’minna wala amatun mu’minatun khayrun
min musyrikatin walaw a’jabatkum) dan janganlah kamu menikahi perempuan
musyrik, sampai dia beriman. Sebenarnya lebih baik bagimu mengambil
istri seorang budak yang beriman daripada perempuan musyrik, meskipun
dia sangat memikat hatimu[xxx].
Dan juga diperintahkan kepada
orang beriman untuk membantu seorang budak wanita untuk mencarikan suami
baginya, begitupun dengan budak laki-laki yang membutuhkan istri (wa
inkihu al-ayama minkim wa al-shalihin min ‘ibadikum wa ima’ikum)[xxxi].
Kedua ayat diatas berbicara dalam konteks pernikahan atau dalam rangka
bagaimana seorang budak perempuan memelihara kesucian dirinya dan
bagaimana pula sikap umat Islam untuk menjaga dan melindungi kehormatan
budak tersebut. Istilah Amat, sepertihalnya ‘abd dalam terminologi arab
jahiliyah berkonotasi negatif dan terkesan menghinakan orang yang
dikenakan sebutan itu. Dia menjadi milik tuannya. Itulah sebabnya Rasul
melarang umat Islam untuk menyebut budak perempuan itu dengan Amat.
Beliau menyuruh mengganti istilah itu dengan fatat (pemudi)[xxxii].
Karena telah begitu buruknya perlakuan yang diterima seorang amat,
hingga kehormatannya tidak dihargai, maka al-Qur’an menggunakan istilah
ini dengan menyebut hak-hak khususnya yang harus dilindungi. Amat harus
dilindungi kehormatannya, dan seorang amat yang menjaga kehormatannya
bisa lebih baik dari wanita merdeka yang musyrik.
5. Fatayat (فتيات )
Fatiya, yafta, fatan berarti muda. Fata (jamaknya Fityan) orang muda,
pemuda, atau budak laki-laki. Sedangkan fatat (jamaknya fatayat) berarti
perempuan muda, pemudi, atau budak perempuan[xxxiii]. Al-Qur’an
menggunakan kata yang berakar sama dengan ini sebanyak 10 kali. Delapan
kali diantaranya dengan makna pemuda (Yusuf:30, 36, 62; al-kahfi:10, 13,
60, 62; al-anbiya’:60) dan dua kali dengan makna pemudi (al-nisa:25;
al-nur:33)[xxxiv].
Dari sepuluh kata tersebut, hanya dua yang
bermakna budak. Satu ayat diantaranya berisi tentang dibolehkannya
meniikahi budak perempuan, dengan izin walinya, bagi seseorang yang
tidak mampu menikah dengan perempuan merdeka. Dan ayat lainnya melarang
keras menjadikan budak wanita sebagai pelacur.
وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ مِنْكُم طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ
فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمْ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالله أَعْلَمُ بِإِيْمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوْهُنَّ
بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ .. (النساء : 25)
Dan barangsiapa diantara
kamu (yang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini
wanita merdeka dan beriman, ia boleh mengawini wanita beriman dari
budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu, sebagian kamu
adalah dari sebagian yang lain. Karena itu kawinilah mereka dengan
seizin tuannya. (al-nisa:25)
… وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ
عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوْا عَرَضَ
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهنَّ فَإِنَّ الله مِنْ بَعْدِ
إِكْرَاهِهِنَّ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ (النور : 33)
Dan janganlah paksa
budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran sedang diri mereka
sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan
duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah
maha pengampun lagi maha penyayang (kepada mereka) sesudah mereka
dipaksa (itu). (al-Nur:33)
Al-Qur’an menyebut budak dengan fata
atau fatat, agaknya menunjukkan bahwa mereka masih muda (terutama secara
psikologis) dan perlu diarahkan untuk menemukan dirinya kembali. Mereka
sesungguhnya potensial menjadi orang hebat sejauhmana dia diarahkan,
dibina, dan dibangkitkan kesadaran akan potensi dirinya (seperti seorang
pemuda). Penggunaan kata fata untuk menyebut budak juga bermaksud untuk
memuliakannya. Karena, kata ini juga dipakai untuk orang mulia di sisi
Allah dan diakui kebesarannya oleh manusia seperti Ibrahim
(al-anbiya’:60), Yusuf (yusuf:30), dan pemuda ashab al-kahfi
(al-kahfi:10, 13).
Sikap Al-Qur’an Terhadap Perbudakan
Perbudakan secara asasi bertentangan dengan ajaran tauhid yang melarang
seseorang menjadi hamba bagi manusia lainnya. Membiarkan perbudakan
berarti juga syirik, sebab seorang pemilik budak, yang menjadikan
manusia lain sebagai hambanya, berarti menempatkan dirinya sebagai
sekutu bagi Allah. Manusia hanya boleh menjadi hamba Allah, bukan hamba
bagi manusia lainnya.
Pernyataan bahwa manusia itu hamba Allah
tidak berarti manusia memperbudak diri dan mengerdilkan dirinya. Justru
sebaliknya, dengan menghamba hanya kepada Allah manusia akan membebaskan
dirinya dari segala macam bentuk perbudakan. Maka sesuai dengan ajaran
tauhid, Islam tidak merestui perbudakan[xxxv].
Karena itu, sejak
awal al-Qur’an telah menegaskan bahwa salah satu misi suci yang akan
diperjuangkan Islam adlah membebaskan para budak dari belenggu
perbudakan (fakku al-raqabat). Islam sejak awal sampai akhir adalah
agama rahmatan li al-’alamin. Itulah sebabnya, al-Qur’an tidak
membicarakan sebab yang bisa melegalkan sebuah perbudakan. Artinya,
tiada syarat atau kriteria tertentu yang dapat menjadikan seseorang
sebagai budak. Pembicaraan tentang perbudakan dalam al-Qur’an selalu
mengarah pada penghapusan perbudakan.
Secara kronologis,
ayat-ayat yang berbicara tentang perbudakan mengarah pada sasaran yang
jelas, yakni menghapuskan perbudakan secara gradual. Setelah Islam
menyatakan bahwa salah satu misi utamanya adalah mengikis perbudakan,
maka Islam mulai bergerak dengan langkah yang paling mendasar. Mulanya,
masih pada periode Makkah, al-Qur’an membolehkan tuan menggauli
budaknya, tapi sudah dikaitkan dengan memelihara kehormatan
(al-mukminun:5-7 dan al-ma’arij:29-30).
Pada periode Madinah,
al-Qur’an berbicara lebih menukik dengan mengatakan bahwa memerdekakan
budak itu termasuk birr (al-baqarah:177) dan setiap pembunuh budak harus
ditindak tegas, kalau sesama budak dengan qishash (al-baqarah:178).
Jika pada periode Makkah budak bisa digauli, maka sekarang dianjurkan
untuk menikahinya karena budak mukmin lebih layak dinikahi daripada
wanita merdeka yang musyrik (al-baqarah:221). Dan setelah perang Badar
pintu perbudakan mulai ditutup dengan membebaskan tawanan perang, dengan
atau tanpa tebusan (muhammad:4).
Gerakan pemerdekaan budak lebih
dipertegas dengan membolehkan budak menuntut mukatabah (perjanjian
merdeka) kepada tuannya (al-Nur:33 yang dikaitkan dengan
al-baqarah:177). Tahap selanjutnya, mengawini budak sudah harus melalui
izin, dipinang, diberi mahar, dan harus dihukum jika berzina
(al-nisa’:25). Berbuat ihsan kepada budak sudah dikaitkan dengan tauhid
dan disejajarkan denagn ihsan kepada ornag-orang yang dihormati, seperti
orang tua, karib, kerabat, dan sebagainya (al-Nisa:36).
Selanjutnya, jalur pembebasan dimekarkan dengan cara kaffarat terhadap
suatu pelanggaran syari’at. Jika seseorang membunuh tanpa sengaja
(al-Nisa’:92), men-dzihar istri (al-mujadilah:4) atau melanggar sumpah
(al-maidah:89) maka salah satu altenatif dendanya adalah memerdekakan
budak. Jika sebelumnya memerdekakan budak hanya dianjurkan, atau
dikaitkan dengan birr dan ihsan, maka sekarang dikaitkan dengan shadaqah
(zakat), sesuatu yang wajib dibayarkan (al-taubat:60).
Dari
rentetan ayat al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa sesungguhnya
pembebasan budak telah diprogram sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi
perbudakan di dunia ini, khususnya dalam masyarakat Islam. Di situ juga
terlihat bahwa al-Qur’an tidak terburu-buru dan drastis. Akan tetapi
semua itu dilakukan dengan hati-hai, gradual, sistematis, realistis, dan
manusiawi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam menghapuskan
perbudakan, Islam menempuh cara yang bijaksana dan mempertimbangkan
segala sesuatu dengan sebaik-baiknya