Saturday, August 10, 2013

Antikythera

PADA 1901, para penyelam Yunani di perairan pulau Antikythera (dibaca: Andikithira, juga dikenal dengan nama: Cerigotto, Sijiljo atau Stus) menemukan sebuah benda peninggalan dari sebuah puing-puing di dasar laut dengan bentuk seperti sebuah jam beker yang berusia paling tidak 2.000 tahun lalu. Penelitian lebih mendalam kemudian oleh Derek J. De Solla Price, menunjukkan bahwa mekanisme benda ini adalah seperti yang kini digunakan sebagai komputer (mesin hitung) untuk mengukur pergerakan bintang-bintang dan planet-planet.
Dalam Scientific American, De Solla juga mengingatkan kembali tentang penemuan sebuah alat hitung kalender beroda gigi dari kebudayaan Islam abad ke-13 yang tersimpan di Museum Sejarah Iptek, Oxford. Konsep kerjanya seperti yang telah ditulis oleh ahli astronomi, Al Biruni pada 1.000 M.
 Peralatan yang dibuat oleh peradaban Islam itu lebih sederhana daripada mekanisme Antikythera namun memperlihatkan banyak kesamaan pokok detil teknis yang digunakan diantara keduanya. 
Dari ini tampaknya peradaban Antikythera seolah-olah telah lenyap dari kita namun muncul dan dipahami oleh orang-orang Arab (Islam). Hingga lalu masuk ke peradaban Eropa pada abad pertengahan menjadi dasar teknologi jam modern. 

Mekanis Antikythera ini kini disimpan di Museum Arkeologi Nasional, Athena (Yunani).
 Teknologi Komputerisasi di Jaman Purba.
 Jangan bayangkan seperti superkomputer yang tersusun dari ratusan mesin berprosesor yang saling terhubung tapi superkomputer purba di sini menggambarkan alat yang cara kerjanya sangat kompleks di jamannya, jauh dari perkiraan para ilmuwan. Jauh sebelum kalkulator dan komputer analog dikembangkan, pelaut Eropa telah mengenal alat hitung yang memiliki cara kerja sangat kompleks. Alat yang diperkirakan dibuat sekitar dua abad Sebelum Masehi ini, sepertinya dipakai untuk menghitung informasi astronomi secara akurat. Meski telah ditemukan sejak 1902, fungsi alat yang disebut Mesin Antikythera (Antikythera Mechanism) tersebut masih menjadi misteri. Saat ditemukan dari sebuah kapal Romawi Kuno yang karam di Pulau Antikythera, Yunani, arkeolog Valerios Stains melihat roda-roda bergigi di antara serpihan artefak lainnya.

Setelah dikumpulkan, terdapat 82 pecahan yang mengandung 30 roda bergigi buatan tangan dari bahan perunggu. Pecahan yang terbesar mengandung 27 roda bergigi.

Para peneliti yakin alat ini saat masih utuh ditempatkan dalam kotak kayu dengan dua pintu dan dilengkapi cara menggunakannya. Untuk memperoleh hasil perhitungan mungkin pemakainya harus memutar engkol.

“Mekanisme kerja alat ini jauh lebih kompleks daripada alat hitung yang dikembangkan setidaknya 1000 tahun sesudahnya,” tulis para peneliti dalam jurnal Nature edisi terbaru. Meski demikian asal-usul dan tujuan pembuat alat ini belum diketahui sampai sekarang.

Planet-planet

Walaupun bentuk rincinya tidak jelas terlihat, peneliti gabungan dari Inggris, Yunani, dan AS bisa merekonstruksi modelnya menggunakan tomografi sinar-X. Hasil pemindaian menunjukkan ada angka-angka, gambar-gambar zodiak, dan kalender Mesir yang tergambar di bagian tengah struktur utama. Di bagian belakangnya, terdapat informasi yang sepertinya menggambarkan siklus bulan dan pola gerhana.

Sepertinya, pembuatnya juga telah merancang agar alat ini dapat memodelkan bidang langit dengan akurat. Misalnya, Bulan pada saat-saat tertentu bergerak lebih cepat karena rotasinya yang elips sehingga dibuatlah roda bergigi dengan ukuran berbeda-beda untuk mengaturnya.

Peneliti juga mampu menerjemahkan lebih banyak tulisan yang menjelaskan mekanisme kerja alat hingga dua kali lipat dari hasil yang telah dicapai sebelumnya. Kombinasi angka dan tulisan menunjukkan bahwa alat ini mungkin juga digunakan untuk menghitung pergerakan planet-planet.

Sebab, disebutkan pula kata Venus dan stasioner yang cenderung menjelaskan peradaran planet. Beberapa menduga Mesin Antikythera hanya menampilkan Venus dan Merkurius, tapi sebagain peneliti yakin juga dipakai untuk menandai pergerakan planet-planet lainnya.

Kalau melihatnya, Anda pasti bertopang dagu dan berpikir, gila! memang cerdas. Ini desain teknis yang brilian,” ujar Profesor Mike Edmunds, profesor astrofisika dari Universitas Cardiff.



dari berbagai sumber 

0 comments:

Post a Comment